Kafe Kematian Thailand: Turis Inggris Pulang Minta Maaf, Ada Apa?

Kafe Kematian Thailand: Turis Inggris Pulang Minta Maaf, Ada Apa? 1

Pesonakota.com – Sebuah kunjungan tak biasa dilakukan oleh Tyla Ferguson-Platt, seorang turis asal Inggris, saat ia mengeksplorasi ibu kota Thailand. Di tengah hiruk pikuk Bangkok, ia menemukan dan mendatangi sebuah kafe kematian unik yang menjanjikan pengalaman transformatif tentang hidup dan mati.

Kafe yang dikenal dengan nama Kid Mai Death Awareness Cafe atau Death Awareness Cafe ini, seperti dilansir dari The Smart Local pada 15 Oktober 2019, telah beroperasi sejak tahun 2018. Tyla Ferguson-Platt sendiri menemukan keberadaan kafe ini melalui sebuah unggahan menarik di Reddit, yang mendorongnya untuk datang tanpa ekspektasi khusus.

Setibanya di lokasi, Platt disambut hangat oleh Keue, pengelola kafe, yang dengan antusias menceritakan sejarah dan filosofi di balik pendirian tempat tersebut. Dijelaskan bahwa kafe kematian Bangkok ini didirikan oleh seorang filsuf Buddha terkemuka, Dr. Veeranut Rojanaprapa.

Menurut Keue, Dr. Rojanaprapa mendirikan kafe ini sebagai bagian dari misinya untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial yang melanda Thailand, termasuk tingginya tingkat kejahatan dan korupsi. Sebagai penganut ajaran Buddha, ia meyakini bahwa akar dari segala kejahatan adalah keserakahan dan kemarahan. Oleh karena itu, Kid Mai Death Awareness Cafe dirancang untuk menumbuhkan pemahaman dan penerimaan mendalam terhadap kematian melalui prinsip-prinsip ajaran Buddha. Filsuf tersebut percaya bahwa dengan menyadari kefanaan hidup dan inevitabilitas kematian, individu akan termotivasi untuk menjalani hidup dengan lebih damai dan bermakna.

Lantas, seperti apakah pengalaman Platt yang mendalam saat menjelajahi kafe kematian ini?

Baca juga: Daftar Restoran dan Kafe yang Gelar Promo 6.6, Termasuk Pizza Hut dan JCo

Kafe dengan 4 Tahap Kehidupan-Kematian

Dilansir dari BBC pada Jumat, 20 Juni 2025, kafe kematian ini bukan sekadar tempat minum kopi biasa. Ia dilengkapi dengan instalasi pameran kecil yang memukau, serta empat wahana yang dirancang khusus untuk merepresentasikan tahapan krusial dalam siklus kehidupan: kelahiran, penuaan, penyakit, dan kematian. Berikut adalah kisah Tyla Ferguson-Platt saat melewati setiap ruangan tersebut:

1. Ruang Kelahiran

Pengalaman Platt dimulai di ruang kelahiran, sebuah area yang awalnya disinari lampu berkedip terang, menyerupai gambaran internal tubuh. Cahaya ini kemudian meredup secara bertahap, meniru kegelapan yang dirasakan janin di dalam rahim ibu. Keue mengundang Platt untuk berbaring di sebuah kursi gantung berwarna merah menyala, yang dirancang menyerupai rahim. Begitu Platt masuk dan meringkuk dalam posisi janin, risleting kursi ditutup, membatasi geraknya. Seketika, Platt merasakan ketidaknyamanan dan, untuk pertama kalinya, menyadari bahwa penderitaan ternyata bisa dirasakan bahkan sejak fase awal kehidupan sebagai janin.

2. Ruang Penuaan

Memasuki ruang penuaan, Platt dihadapkan pada simulasi fisik dari proses degenerasi tubuh. Kakinya diikat dengan tas-tas pemberat, memberikan sensasi melemahnya kekuatan otot seiring bertambahnya usia. Ia juga mengenakan kacamata yang mengaburkan pandangannya, meniru penglihatan yang memburuk pada lansia. Platt merasa kesulitan menaiki tangga, sebuah pengalaman yang semakin mempertegas betapa melemahnya fungsi tubuh saat menghadapi penuaan.

Baca juga: Pengunjung Kafe di Jepang Ini Tak Boleh Pulang Sebelum Memecahkan Misteri

3. Ruang Penyakit

Perjalanan Platt berlanjut ke ruang penyakit, yang didesain menyerupai kamar rumah sakit dengan detail yang realistis. Platt diminta berbaring di ranjang tiruan yang dilengkapi tabung oksigen, monitor jantung, dan berbagai alat medis lainnya, menciptakan suasana yang autentik. Dalam momen krusial ini, Keue melontarkan pertanyaan yang menyentuh: “Dengan siapa Anda ingin berbicara jika Anda akan meninggal?” Tanpa ragu, Platt menyebut ibunya. Ia mengakui adanya kemarahan yang belum terselesaikan akibat perceraian orang tuanya, yang membuatnya telah lama tidak bertemu sang ibu.

Keue kemudian melanjutkan dengan pertanyaan yang lebih mendalam: “Sekarang katakan padaku, apa yang ingin kamu katakan kepada ibumu jika ini adalah saat terakhirmu di Bumi?” Pertanyaan ini memicu gelombang emosi dalam diri Platt, membuatnya benar-benar membayangkan saat-saat terakhir hidupnya. Dalam pencerahan yang menyakitkan, ia menyadari urgensi untuk memperbaiki hubungannya dengan ibunya selagi masih ada kesempatan. “Saya harus berbaring di ranjang rumah sakit tiruan yang aneh di tengah kota Bangkok untuk menyadari hal ini,” ungkap Platt, merefleksikan betapa seringnya kita luput akan hal penting dalam hidup.

4. Ruang Kematian

Memasuki ruang kematian, ruangan terakhir dari simulasi ini, pikiran Platt sudah sepenuhnya terfokus pada permasalahan yang belum terselesaikan dengan ibunya. Di tengah ruangan, sebuah peti mati putih bersih ditempatkan di atas tangga hitam, dengan kata “KEMATIAN” yang tegas terpampang di dinding belakangnya. Platt memberanikan diri untuk berbaring di dalam peti, memejamkan mata, dan merenungkan akhir hayatnya.

Dalam keheningan peti mati, kegelisahan merayapi dirinya, dan ia kembali dihadapkan pada penyesalan mendalam jika harus meninggal tanpa sempat berdamai dengan ibunya. Namun, di tengah pergulatan batin itu, sebuah perubahan terjadi. Perasaan Platt mendadak menjadi ringan dan jernih, seolah-olah beban berat yang selama ini dipikulnya telah terangkat. Ia menyadari bahwa pengalaman kematian tiruan ini, alih-alih menakutkan, justru memberinya pencerahan tentang apa yang benar-benar penting dalam hidup.

Baca juga: Tren Kafe di China, Rekrut Anjing dan Kucing Jadi Karyawan dengan Bayaran Makanan Kaleng

Sekembalinya dari Bangkok, dampak dari kunjungan ke Kid Mai Death Awareness Cafe itu terasa begitu kuat. Platt tak menunggu lama; ia segera mengambil langkah untuk memperbaiki hubungannya dengan sang ibu, memulai dengan sebuah permintaan maaf tulus. “Kami baru-baru ini berbicara di sebuah acara kumpul keluarga,” tutur Platt. “Memang tidak sempurna, namun ini adalah sebuah awal yang sangat berarti.” Kisah Tyla Ferguson-Platt membuktikan bagaimana sebuah kafe kematian bisa menjadi medium tak terduga untuk refleksi diri dan transformasi pribadi yang mendalam, mengingatkan kita akan pentingnya hidup dengan penuh kesadaran dan menyelesaikan urusan batin selagi masih bisa.

Ringkasan

Turis Inggris Tyla Ferguson-Platt mengunjungi Kid Mai Death Awareness Cafe di Bangkok, kafe unik yang didirikan oleh filsuf Buddha Dr. Veeranut Rojanaprapa pada tahun 2018. Kafe ini bertujuan untuk menumbuhkan pemahaman dan penerimaan mendalam terhadap kematian melalui prinsip-prinsip ajaran Buddha, diyakini dapat mendorong individu menjalani hidup lebih damai dan bermakna serta mengatasi masalah sosial.

Platt mengalami simulasi empat tahapan kehidupan-kematian, termasuk berbaring dalam peti mati, yang membuatnya merenungkan penyesalan hidup. Pengalaman di ruang penyakit memicu kesadaran mendesak untuk memperbaiki hubungannya dengan ibunya yang renggang. Setelah kembali dari Bangkok, Platt segera mengambil langkah untuk meminta maaf dan mulai memulihkan hubungannya, menunjukkan dampak transformatif dari kunjungan kafe tersebut.