Kenangan Unik Setiap Negara: Seri #23

Kenangan Unik Setiap Negara: Seri #23 1

Perjalanan kami kali ini membawa kembali kenangan dari jantung Asia, sebuah tanah misterius yang dikenal sebagai Tibet. Meskipun beberapa foto pendukung hilang, membuat kisah perjalanan ini tidak dapat kami susun secara sistematis sesuai alur waktu, pengalaman berharga ini tetap layak untuk dibagikan.

Untuk memasuki Tibet, diperlukan visa khusus yang diterbitkan oleh Pemerintah Tiongkok. Tibet dijuluki sebagai “Negara Forbidden Kingdom“, sehingga meskipun telah mengantongi visa Tiongkok biasa, izin masuk ke Tibet tidak serta merta diberikan. Pada tahun 2001, saat kami berada di Tiongkok, kami sekalian mengurus visa perjalanan ke Tibet. Di Shanghai, proses pengurusan visa ini melibatkan interogasi ketat oleh pihak keamanan Pemerintah Tiongkok, yang kala itu diwakili oleh seorang pelajar berwenang untuk memutuskan apakah kami diizinkan berkunjung ke Tibet atau tidak. Setelah interogasi selesai, ia memutuskan untuk mengizinkan kami, namun paspor kami ditahan dengan janji akan diantar ke bandara.

Tibet sendiri dikenal sebagai negara tertinggi di dunia, berlokasi di puncak pegunungan Himalaya dan dijuluki “The Roof of the World” atau Atap Dunia. Mayoritas penduduknya menganut agama Buddha, dengan pemimpin spiritual mereka, Dalai Lama, yang kini telah lama hidup di luar Tibet.

Dari Shanghai, kami melanjutkan penerbangan menggunakan China Southern Airline yang mendarat di Konga Airport. Di sana, paspor kami telah diserahkan oleh seorang anggota imigrasi, dan kami pun melanjutkan penerbangan ke Lhasa. Di Lhasa, kami dijemput oleh seorang pemandu bernama Mr. Campa beserta sopir yang akan mengantar kami berkeliling. Mr. Campa mengingatkan bahwa sopir kami juga merupakan bagian dari keamanan, sehingga kami diimbau untuk tidak membicarakan politik selama perjalanan.

Kedatangan kami ternyata di waktu yang kurang tepat, yaitu saat musim dingin dengan suhu di bawah nol derajat Celsius. Setibanya di hotel, karena kami adalah satu-satunya tamu, pihak hotel hanya menyalakan pemanas (heater) kecil, menyebabkan kami kedinginan. Yang lebih parah, kadar oksigen yang hanya sekitar 50% membuat kami merasakan penderitaan akibat kekurangan oksigen. Pihak hotel kemudian menawarkan bantal berisi oksigen dengan harga yang cukup mahal, yang harus kami bayar keesokan harinya. Pengalaman ini menjadi pelajaran hidup yang sangat berharga, mengajarkan kami untuk lebih bersyukur kepada Tuhan atas karunia oksigen alam yang telah kami nikmati secara gratis selama puluhan tahun.

Keesokan harinya, kami mengunjungi sebuah kuil tempat patung Dalai Lama yang telah wafat disimpan. Jasadnya dilapisi dengan emas murni, dan altar di sana diperkirakan mengandung sekitar dua ton emas murni. Selama kunjungan, kami juga berpapasan dengan kerumunan penduduk lokal yang antusias menaiki bukit sebagai tempat ziarah, berharap mendapatkan berkat dari para pendeta. Sebuah pemandangan unik adalah cara mereka menyapu sumbangan uang dengan sapu lidi, mencerminkan kepercayaan bahwa uang adalah “sampah dunia” – mereka meyakini uang memang dibutuhkan, tetapi bukanlah hal utama dalam hidup.

Mr. Campa juga menceritakan beberapa tradisi lokal yang mengejutkan. Misalnya, anak-anak yang baru lahir akan dicelupkan ke Sungai Shangpo yang dingin. Bayi yang mampu bertahan hidup akan terus ada, sementara yang tidak kuat akan diberikan sebagai makanan ikan di sungai tersebut. Inilah sebabnya mengapa orang Tibet tidak mengonsumsi ikan. Selain itu, orang Tibet mandi hanya tiga kali seumur hidup mereka: pertama saat lahir dicelupkan ke Sungai Shangpo, kedua saat menikah, dan ketiga ketika meninggal dunia.

Terkait tradisi pemakaman, ada perbedaan bergantung pada lokasi tinggal. Bagi yang meninggal di pegunungan, tulang-belulang jenazah akan dipatahkan dan diberikan sebagai makanan burung-burung. Sementara itu, bagi mereka yang meninggal di dataran rendah, mayatnya akan dilemparkan ke sungai untuk dimakan oleh ikan-ikan.

Kesimpulan:

Pengalaman kami di Tibet, terutama rasa pusing dan sakit kepala akibat kekurangan asupan oksigen ke otak, serta kesulitan tidur di malam hari, meninggalkan kesan mendalam. Pengalaman yang begitu menantang ini membuat kami berdua berjanji dalam hati untuk tidak akan pernah lagi kembali ke Tibet. Bagi sahabat yang mungkin memiliki impian untuk berkunjung ke Tibet, alangkah baiknya untuk mempertimbangkan kembali secara matang sebelum memutuskan untuk berangkat, mengingat tantangan yang mungkin dihadapi.

Terima kasih kepada semua sahabat di Kompasiana yang telah menyempatkan waktu untuk membaca artikel ini.

20 Juni 2025.

Salam saya,

Roselina.

Ringkasan

Perjalanan ke Tibet, yang dijuluki “Forbidden Kingdom”, memerlukan visa khusus dari Pemerintah Tiongkok dan proses interogasi ketat. Dikenal sebagai “Atap Dunia” di pegunungan Himalaya dengan mayoritas penduduk beragama Buddha, kunjungan di musim dingin menghadapi tantangan suhu di bawah nol dan kadar oksigen yang sangat rendah, menyebabkan penderitaan hingga harus menggunakan bantal oksigen.

Pengalaman di Tibet mencakup kunjungan ke kuil tempat patung Dalai Lama berlapis emas dan altar emas murni, serta pengamatan tradisi unik penduduk lokal seperti menyapu sumbangan uang. Pemandu juga menjelaskan kebiasaan memandikan bayi di sungai dingin, mandi hanya tiga kali seumur hidup, dan praktik pemakaman jenazah yang diberikan kepada burung atau ikan. Keseluruhan pengalaman yang sangat menantang ini meninggalkan kesan mendalam dan membuat penulis berjanji untuk tidak kembali ke Tibet.