Mendaki gunung bukan aktivitas mudah. Semua orang tahu itu. Semakin tinggi gunungnya, semakin sulit juga perjalanan yang harus dilewati. Bukan hanya karena jarak jauh yang harus ditempuh, tapi juga karena di gunung kita gak akan pernah tahu apa yang akan terjadi.
Medan yang kadang curam dan cuaca yang berubah-ubah dengan cepat menantang fisik para pendaki. Jika gak dipersiapkan dengan baik, bukan hanya rasa lelah yang akan kamu rasakan. Lebih dari itu, kamu juga akan berisiko tinggi terkena beberapa kondisi medis di bawah ini. Waspadai, yuk!
1. Dehidrasi
Dehidrasi merupakan salah satu kondisi medis yang cukup sering terjadi kepada para pendaki. Perjalanan jauh, trek yang menanjak, hingga cuaca panas membuat kita berkeringat lebih banyak dan kehilangan cairan tubuh dengan cepat. Dilansir Mayo Clinic, dehidrasi terjadi ketika tubuh kehilangan lebih banyak cairan daripada yang diserap. Padahal, sekitar 78 persen tubuh kita terdiri dari air. Artinya, tubuh kita membutuhkan asupan air yang cukup untuk bisa berfungsi dengan baik.
Ketika kita mengalami dehidrasi ringan, tubuh akan memberikan sinyal berupa rasa haus. Namun, jika diabaikan, dehidrasi akan jadi semakin buruk, yang ditandai dengan beberapa gejala, seperti bibir kering, kelelahan, pusing, kebingungan, hingga jarang buang air kecil. Normalnya, dehidrasi ringan bisa diatasi dengan minum air yang cukup. Namun, pada kondisi yang serius, orang yang dehidrasi membutuhkan infus untuk dapat mengisi cairan tubuh dengan cepat.
2. Hipotermia
Hipotermia terjadi ketika tubuh terlalu banyak terpapar di cuaca yang dingin, basah, dan berangin. Di gunung, cuaca mudah sekali berubah. Cuaca yang tadinya panas bisa berubah jadi hujan badai dalam hitungan menit. Ini membuat tubuh jadi lebih berisiko terkena hipotermia. Dilansir Mayo Clinic, hipotermia adalah kondisi saat suhu tubuh turun di bawah 35 derajat celsius. Ketika ini terjadi, sejumlah organ penting, seperti jantung dan sistem saraf, gak bisa berfungsi dengan baik hingga menunjukkan berbagai gejala, seperti gemetaran, ucapan yang tidak jelas, kurangnya koordinasi, dan pernapasan yang dangkal.
Apesnya lagi, kadang para pendaki gak menyadari bahwa mereka terkena hipotermia dan beranggapan bahwa gejala yang dirasakan merupakan reaksi normal tubuh saat kedinginan. Padahal, hipotermia merupakan kondisi darurat. Penanganan cepat, seperti memindahkan pasien ke tempat yang lebih hangat, mengganti pakaian dengan yang kering, memakai selimut tebal, dan lampu pemanas, sangat dibutuhkan untuk mengembalikan panas tubuh. Jika dibiarkan, hipotermia yang parah bisa memicu penurunan kesadaran, gagal jantung, hingga kematian.
3. Acute Mountain Sickness
Dibandingkan dengan dehidrasi dan hipotermia, acute mountain sickness cukup jarang terjadi saat mendaki gunung-gunung di Indonesia. Meski begitu, tetap aja para pendaki wajib mewaspadai kondisi medis satu ini. Dilansir Cleveland Clinic, acute mountain sickness terjadi ketika tubuh gak memiliki waktu untuk beradaptasi dengan ketersediaan oksigen yang rendah. Kondisi medis satu ini umumnya terjadi pada orang yang gak terbiasa dengan ketinggian atau saat seseorang mendaki dengan cepat di atas ketinggian 2.438 mdpl. Gejala acute mountain sickness sendiri meliputi sakit kepala, mual dan muntah, kehilangan nafsu makan, kelelahan meski sudah istirahat, sulit tidur, serta kepala terasa ringan.
Jika kamu gak terbiasa berada di ketinggian atau seorang pendaki pemula, hindari mendaki lebih dari 500 meter per hari. Segera turun ke daerah dengan ketinggian lebih rendah jika mulai merasakan beberapa gejala. Jangan pernah memaksakan diri jika tubuh sudah merasa gak nyaman. Pasalnya, pada kasus yang parah, acute mountain sickness bisa memicu terjadinya edema paru, cairan memenuhi paru-paru, bahkan pembengkakan otak yang mengancam nyawa.
4. Frosbite
Khusus kondisi medis satu ini mungkin hanya akan terjadi jika kamu mendaki pegunungan es. Di Indonesia yang memiliki iklim tropis, frosbite hampir mustahil terjadi. Dilansir Cleveland Clinic, frosbite atau radang dingin akut terjadi ketika kulit kita terpapar suhu beku di bawah 0 derajat celsius. Semakin dingin suhunya, akan semakin cepat juga kamu terkena frosbite. Ini karena lebih dari 60 persen kulit manusia mengandung air. Adapun, ketika terpapar suhu dingin yang ekstrem, kandungan air itu akan mengkristal dan menghambat aliran darah.
Radang dingin atau frosbite sendiri bisa menyerang bagian tubuh mana pun. Namun, yang paling sering terkena ialah jari-jari tangan dan kaki, wajah, hidung, serta telinga. Kabar baiknya, frosbite yang parah tidak langsung terjadi. Pada awalnya, kamu akan mengalami radang dingin ringan atau frostnip yang ditandai dengan nyeri, kesemutan, hingga mati rasa.
Jika dibiarkan, frostnip akan berubah jadi radang dingin sedang yang ditandai dengan perubahan warna kulit disertai dengan kulit yang mulai terasa hangat. Terakhir yang paling parah adalah frosbite. Kulit berubah jadi putih atau biru kebauan. Dalam 24—48 jam setelahnya, kulit akan melepuh dan akhirnya berubah jadi hitam dengan jaringan kulit yang mati sepenuhnya.
Mendaki gunung dan mendekatkan diri pada alam sebetulnya aktivitas yang baik. Dengan catatan, kamu gak memaksakan diri ketika melakukannya. Ingat, target utama para pendaki bukanlah puncak, melainkan sampai di rumah dalam keadaan selamat. Gak lucu, kan, kalau ujungnya kamu sakit dan akhirnya harus ditandu tim SAR untuk turun ke base camp!
Referensi
“Acute Mountain Sickness”. Healthline. Diakses Juli 2025.
“Altitude Sickness”. Cleveland Clinic. Diakses Juli 2025.
“Dehydration”. Cleveland Clinic. Diakses Juli 2025.
“Dehydration: Symptoms and Causes”. Mayo Clinic. Diakses Juli 2025.
“Frostbite”. Cleveland Clinic. Diakses Juli 2025.
“Frostbite: Symptoms and Causes”. Mayo Clinic. Diakses Juli 2025.
“Hypothermia (Low Body Temperature)”. Cleveland Clinic. Diakses Juli 2025.
“Hypothermia: Symptoms and Causes”. Mayo Clinic. Diakses Juli 2025.
10 Potret Ririe Fairus Mendaki Gunung Ciremai, Menyenangkan! 5 Hal Sepele yang Sering Jadi Pemicu Cedera saat Mendaki