Bermain Ombak di Pantai Cacalan dan Bersafari di Savana Baluran

Bermain Ombak di Pantai Cacalan dan Bersafari di Savana Baluran 1

Setelah perjalanan panjang dari Bandung ke Banyuwangi yang saya ceritakan sebelumnya (klik Roadtrip ke Kota Paling Timur Pulau Jawa untuk membaca kisah lengkapnya!), petualangan kami belum usai. Sayangnya, waktu liburan keluarga terbatas, dan anak sulung harus segera kembali ke sekolah. Padahal, Banyuwangi menyimpan begitu banyak permata wisata yang menggoda. Seandainya waktu lebih berpihak, Hutan Trambesi yang misterius, Pantai Pulau Merah yang ikonik, dan kawah Ijen yang memukau pasti masuk dalam daftar kunjungan kami. Semoga lain waktu, Banyuwangi akan kembali menyambut kami dengan tangan terbuka.

Pagi itu, setelah menikmati sarapan, kami bersiap meninggalkan hotel. Tujuan pertama kami adalah pantai yang letaknya tak jauh dari penginapan, sebelum akhirnya memulai perjalanan pulang. Hotel tempat kami menginap menawarkan suasana Bali yang kental, sebuah oase kecil yang menenangkan hati, meskipun kami belum benar-benar menyeberang ke Pulau Dewata.

Usai proses *check-out*, Pantai Cacalan menjadi destinasi selanjutnya. Pilihan ini jatuh karena ulasan daring yang menyebutkan adanya kolam kano yang menarik. Begitu tiba dan membayar tiket masuk, pemandangan langsung terbagi dua: deretan warung di sisi kanan, dan gazebo-gazebo menghadap laut di sisi kiri. Tanpa ragu, kami memilih jalur kiri untuk parkir.

Semangat bermain air membara di dada. Namun, begitu melihat bibir pantai, kami mendapati hamparan kerikil yang cukup padat. Si bungsu, dengan kecintaannya pada air, langsung berlari menuju ombak ditemani ayahnya. Sementara saya dan si sulung memilih bersantai sejenak di gazebo, menikmati pemandangan sebelum akhirnya ikut bergabung.

Pantai Cacalan memang unik dengan karakteristiknya yang beragam. Namun, berjalan di atas kerikil tanpa alas kaki terasa kurang nyaman. Akhirnya, sandal menjadi solusi, dan kami hanya bermain air seperlunya, merasakan deburan ombak sambil memandang Selat Bali dan siluet Pulau Bali di kejauhan.

Kemudian, anak sulung berinisiatif menjelajahi sisi kanan pantai, mencari kolam kano yang dijanjikan. Tak lama, ia kembali dengan kabar baik: area di sana lebih bersih dan berpasir! Kami pun bergegas menuju area yang tersembunyi di balik deretan warung. Benar saja, suasana di sana jauh lebih baik.

Di sana, terbentang kolam payau bernama “Rowo Kano,” dihiasi dengan rimbunnya pohon bakau. Kano-kano tersedia untuk disewa, mengundang pengunjung untuk berpetualang di atas air. Saya menawarkan si sulung dan si bungsu untuk mencoba, namun mereka kurang tertarik. Akhirnya, kami memilih berjalan-jalan di atas jembatan kayu yang membelah kolam.

Di seberang kolam, beberapa gazebo tampak lebih terawat daripada yang kami tempati sebelumnya. Kami melanjutkan perjalanan mengitari kolam, sebelum akhirnya kembali ke pantai.

Pemandangan menarik lainnya adalah kawanan burung merpati yang bebas berkeliaran di pasir. Si bungsu sangat senang melihatnya, mencoba menangkap mereka dengan tawa riang. Tentu saja, burung-burung itu lebih gesit dan berhasil menghindar. Keberadaan kandang burung merpati memang menjadi salah satu daya tarik Pantai Cacalan.

Kami kemudian berjalan mendekati laut. Kursi-kursi santai berjejer rapi di tepi pantai. Pasir di Pantai Cacalan berwarna hitam eksotis. Di sisi kanan pantai, bebatuan masih ada, namun jumlahnya tidak terlalu banyak sehingga kami bisa bermain air dengan lebih nyaman.

Si bungsu benar-benar menikmati bermain ombak dan berguling-guling di pasir. Ia berlari mengejar dan dikejar ombak dengan penuh semangat. *Mijah banget pokoknya!* (Mijah: banyak aksi, sangat aktif – dalam bahasa Sunda).

Saya harus ekstra waspada menjaganya, khawatir ia berlari terlalu jauh ke laut. Setelah puas menikmati keindahan pantai, suami mengingatkan bahwa kami harus segera melanjutkan perjalanan jika ingin mengunjungi destinasi berikutnya. Akhirnya, dengan berat hati, kami meninggalkan Pantai Cacalan.

Sebelum benar-benar meninggalkan Banyuwangi, kami menyempatkan diri berkeliling kota untuk merasakan suasananya. Kemudian, kami membeli oleh-oleh khas, tape Bondowoso, yang banyak dijajakan di pinggir jalan. Meskipun di Bandung juga banyak tape, kami ingin mencicipi cita rasa tape dari daerah lain.

Ternyata, tape Bondowoso rasanya enak dan manis. Teksturnya lebih lembek daripada tape Bandung, namun tidak berserat sehingga lebih mudah dinikmati. Kami membeli dua besek dan ludes sebelum kami tiba di tujuan selanjutnya.

Tujuan kami berikutnya adalah Taman Nasional Baluran. Lokasinya searah dengan jalan pulang dan tidak terlalu jauh dari Banyuwangi. Taman Nasional Baluran terletak di Kabupaten Situbondo dan sering disebut sebagai “Africa van Java” atau “Little Africa in Java”.

Julukan ini diberikan karena lanskapnya yang menyerupai savana di Afrika, dengan hamparan padang rumput yang luas dan satwa liar yang hidup bebas.

Begitu memasuki area parkir, kami disambut oleh banyak monyet. Kami sangat antusias, membayangkan akan bertemu lebih banyak hewan di dalam nanti.

Kami berhenti sejenak untuk membeli tiket di *visitor center*. Di sana juga tersedia penyewaan mobil Jeep untuk menambah kesan safari. Namun, kami memutuskan untuk menggunakan mobil sendiri. Usai membeli tiket, petualangan di Taman Nasional Baluran pun dimulai. Kami menyusuri jalan yang diapit oleh pepohonan rindang di kedua sisi.

Awalnya, kami berharap akan menemukan lebih banyak monyet di sepanjang jalan, namun ternyata tidak. Kami bercanda, mungkin monyet-monyet itu lebih suka berada di area parkir karena lebih banyak orang yang memberi mereka makan.

Setelah beberapa kilometer, kami tiba di Savana Bekol. Di sinilah, monyet-monyet itu bermunculan. Mereka mendekati mobil kami dengan posisi berdiri, mungkin mengharapkan makanan. Namun, ada papan peringatan yang melarang pemberian makan kepada satwa liar. Bagaimanapun, mereka adalah satwa liar yang seharusnya mencari makan sendiri di habitatnya.

Kami melanjutkan perjalanan dan berhenti di savana yang memiliki pohon akasia ikonik. Pohon ini menjadi ciri khas savana yang luas dan sering menjadi latar belakang foto yang populer.

Konon, pemandangan savana Baluran akan semakin menakjubkan saat musim kemarau, karena nuansa Afrika akan semakin terasa. Namun, karena saat itu masih musim hujan, suasana masih cukup hijau. Beberapa pengunjung terlihat berfoto di sana, dan kami pun tak mau ketinggalan. Kami juga mengamati sekeliling, berharap melihat rusa atau kerbau liar. Sayangnya, kami tidak menemukannya. Mungkin mereka sedang berkumpul di lokasi lain.

Kami kembali ke mobil dan berhenti di spot foto lainnya dengan pemandangan savana dan latar belakang Gunung Baluran. Anak sulung berkomentar bahwa bentuk Gunung Baluran mirip gunung di film Jurassic Park. Setelah diperhatikan, memang ada kemiripan.

Tak lupa, kami terus mengamati sekeliling, berharap menemukan hewan lain selain monyet. Namun, nihil. Kami hanya menemukan kotoran kerbau di tengah jalan.

Setelah puas berfoto, kami melanjutkan perjalanan menuju Pantai Bama. Di perjalanan, kami melihat sekelompok burung terbang di antara pohon palem yang tinggi. Dari bentuknya, kami menduga itu adalah burung enggang. Akhirnya, ada juga hewan selain monyet yang berhasil kami temui!

Setibanya di area parkir Pantai Bama, kami kembali disambut oleh kerumunan monyet. Petugas parkir mengingatkan untuk tidak membawa makanan ke area pantai.

Benar saja, monyet-monyet itu sangat nakal. Mereka merebut makanan dari tangan pengunjung, bahkan makanan yang masih terbungkus. Mereka saling berteriak dan bertengkar setiap saat.

Kami pun menjaga jarak dengan mereka. Kemudian, kami berjalan menuju pantai. Pantai Bama adalah pantai pasir putih yang indah. Namun, terdapat papan larangan untuk berenang. Sepertinya, tidak jauh dari garis pantai terdapat dasar laut yang curam, sehingga dipasang tali pembatas.

Setelah mencari informasi di Google, ternyata di dekat Pantai Bama memang terdapat palung, sehingga tidak aman untuk berenang. Oleh karena itu, pengunjung hanya diperbolehkan bermain dan berjalan-jalan di tepi pantai. Di sana juga tersedia penyewaan kapal bagi yang ingin berkeliling.

Pohon yang tumbuh di pinggir Pantai Bama bukanlah pohon kelapa seperti pantai pada umumnya, melainkan pohon yang tampak seperti pada foto.

Setelah menikmati suasana Pantai Bama, kami kembali ke mobil untuk menuju *visitor center*.

Sebenarnya, masih banyak spot menarik lainnya yang bisa dieksplorasi di Baluran. Sayangnya, kami tidak punya cukup waktu untuk menjelajah lebih jauh.

Kami pun kembali berkendara menuju *visitor center*. Sepanjang perjalanan, kami melihat semakin banyak wisatawan yang datang. Untungnya, kami tiba saat suasana belum terlalu ramai.

Setelah keluar dari Taman Nasional Baluran, kami kembali berkendara di jalan yang membelah hutan Baluran. Di sisi kanan dan kiri jalan, banyak sekali monyet berkeliaran. Bahkan, jumlahnya lebih banyak daripada di dalam taman nasional!

Kami berspekulasi bahwa monyet-monyet ini sering mendapatkan makanan dari mobil-mobil yang melintas, sehingga mereka lebih senang berada di pinggir jalan.

Keberadaan mereka juga membuat pengemudi was-was. Beberapa kali suami saya mengurungkan niat untuk menyalip truk besar karena takut menabrak monyet-monyet itu.

Itulah cerita perjalanan kami ke Pantai Cacalan Banyuwangi dan Taman Nasional Baluran Situbondo.

Ke mana lagi kami akan singgah dalam perjalanan pulang menuju Bandung? Nantikan cerita selanjutnya!

Ringkasan

Sebelum pulang, keluarga penulis mengunjungi Pantai Cacalan di Banyuwangi. Pantai ini memiliki dua karakter unik: sebagian berkerikil padat dan sebagian berpasir hitam. Mereka menemukan area “Rowo Kano” dengan kolam payau dan pohon bakau, menawarkan tempat yang lebih nyaman dan berpasir untuk bermain air sambil menikmati pemandangan Selat Bali.

Perjalanan dilanjutkan ke Taman Nasional Baluran di Situbondo, dijuluki “Africa van Java” karena savananya yang luas. Di Savana Bekol, mereka melihat pohon akasia ikonik dan monyet, meskipun rusa atau kerbau tidak terlihat. Mereka juga mengunjungi Pantai Bama, pantai pasir putih di Baluran, namun dilarang berenang karena dasar laut yang curam.