Pesonakota.com – Gunung Rinjani, ikon keindahan alam Nusa Tenggara Barat yang dikenal sebagai surga pendakian, kini menghadapi tantangan baru. Alih-alih hanya dinikmati dari jalur darat, sebuah proposal kontroversial muncul: menjelajahi puncak setinggi 3.726 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu menggunakan pesawat amfibi (seaplane) dan menginap di tenda mewah ala glamorous camping (glamping) di tengah Danau Segara Anak. Ide ini, yang digagas oleh PT. Solusi Pariwisata Inovatif (SPI), sontak memicu gelombang penolakan keras dari berbagai elemen masyarakat.
PT SPI, perusahaan yang bergerak di bisnis penyediaan wisata udara ramah lingkungan dan telah menggandeng mitra dari Hong Kong, berambisi memperkenalkan gaya baru menikmati Rinjani. Namun, rencana pengembangan seaplane dan glamping ini justru memantik amarah dan kekhawatiran serius akan dampak lingkungan serta nilai sakral kawasan tersebut. Protes pun memuncak pada Rabu, 9 Juli 2025, saat Aliansi Rinjani Memanggil, Rinjani Bergerak, Koalisi Pecinta Alam, dan Masyarakat Sipil Peduli Rinjani menggelar aksi di Kantor Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) di Kota Mataram.
Baca juga: Ketua DPRD NTB Tolak Seaplane dan Glamping Gunung Rinjani
Inti penolakan tertuju pada lokasi proyek, yakni kawasan inti Danau Segara Anak, yang dianggap Wahyu Habbibullah, Koordinator Aksi, sangat bertentangan dengan prinsip pelestarian lingkungan. “Proyek ini tidak hanya merusak ekosistem yang sudah rapuh, tetapi juga mengabaikan hak-hak masyarakat yang telah menjaga kawasan ini selama berabad-abad,” tegas Wahyu di hadapan massa aksi. Ia menambahkan, pembangunan yang tidak didasari kajian mendalam dan partisipasi publik jelas akan memperparah kondisi lingkungan Gunung Rinjani.
Senada, Direktur Eksekutif WALHI NTB, Amri Nuryadin, mengkritisi keras pengelolaan BTNGR oleh negara yang dinilai mengesampingkan aspek ekologi. “Negara tidak memprioritaskan prinsip ekologi dalam pengelolaan kawasan ini. Ini adalah bukti bahwa pengelolaan TNGR gagal memperhatikan aspek lingkungan yang seharusnya dilindungi,” ujar Amri, menyoroti ketidakseimbangan antara investasi dan konservasi.
Ancaman terhadap nilai sakral Rinjani turut menjadi sorotan utama. AS Rosyid dari Aliansi Rinjani Memanggil bahkan menginisiasi petisi di change.org sebagai bentuk penolakan seaplane dan glamping. Ia menegaskan, Danau Segara Anak bukanlah kolam rekreasi atau bandara terapung, melainkan ruang suci bagi ritual, doa, dan penyembuhan masyarakat adat Sasak. “Jika dijadikan landasan pesawat, maka yang digilas bukan hanya air dan tanah, tetapi identitas dan harga diri masyarakat adat,” tandas Rosyid. Baginya, menghadirkan wisata mewah semacam ini adalah penghinaan terhadap tata nilai dan keyakinan masyarakat tradisi Sasak yang telah memuliakan Rinjani sejak ribuan tahun.
Baca juga: Balai TNGR Tanggapi Aksi Penolakan Seaplane dan Glamping di Gunung Rinjani
Dukungan terhadap masyarakat datang dari Ketua DPRD NTB, Baiq Isvie Rupaeda, yang menegaskan bahwa ia mendukung pengembangan pariwisata namun tidak dengan merusak keindahan Gunung Rinjani. “Jadi tidak segampang itu, proyek seaplane dan glamping itu bisa terwujud,” kata politisi Golkar ini pada Sabtu, 19 Juli 2025. Isvie mendesak penataan pariwisata yang berorientasi pada pelestarian lingkungan, serta secara vokal mendukung gerakan penolakan dari warga Sembalun, daerah pemilihannya, menekankan pentingnya pemerintah mendengar aspirasi masyarakat.
Di sisi lain, Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Lalu Muhamad Iqbal mengaku terkejut dan tidak mengetahui adanya rencana pembangunan seaplane dan glamping ini. “Saya tidak pernah dengar tahu-tahu ada pembangunan seaplane dan glamping di sana (Gunung Rinjani), katanya provinsi yang berizin tapi provinsi yang mana tidak tahu saya,” jelas Iqbal. Mantan Dubes Indonesia untuk Turki itu menegaskan bahwa setiap proyek di kawasan Gunung Rinjani wajib mengedepankan prinsip konservasi. Meskipun ada pihak yang ingin bertemu dengannya untuk membahas pesawat laut ini, pertemuan tersebut sampai saat ini belum terealisasi, sehingga ia belum dapat memberikan tanggapan lengkap.
Menanggapi gelombang penolakan, Kepala Balai TNGR Yarman menjelaskan bahwa perusahaan pengusul, PT SPI, masih dalam tahap pengurusan Izin Lingkungan (UKL UPL) dan sejumlah kajian. Proses ini, sesuai Peraturan Menteri LHK Nomor 3 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.8/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2019, melibatkan sosialisasi dengan mendengarkan pendapat dari masyarakat serta kesesuaian zonasi dan ruang (berada di zona pemanfaatan dan ruang usaha). BTNGR sendiri memfasilitasi permohonan Perizinan Berusaha Pengusahaan Sarana Jasa Lingkungan Wisata Alam (PBPSWA) melalui Lembaga OSS, yang prosesnya di Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Yarman menegaskan bahwa perkembangan permohonan perizinan PT SPI hingga 10 Juli 2025, masih pada tahap pemenuhan persyaratan Izin Lingkungan (UKL UPL) yang kewenangannya di bawah Kementerian Lingkungan Hidup. Aspek kelestarian lingkungan akan dikaji secara detail pada dokumen Izin Lingkungan. Apabila dinilai tidak memenuhi standar kelestarian lingkungan, maka izin lingkungan tidak akan diterbitkan dan permohonan izin tidak dapat diproses ke tahap selanjutnya. BTNGR, kata Yarman, tetap memprioritaskan prinsip kehati-hatian demi kelestarian kawasan dan kemanfaatan ekonomi berkelanjutan bagi masyarakat. Ia juga menyampaikan bahwa protes dan penolakan masyarakat telah dicatat dan disampaikan kepada Kementerian Kehutanan sebagai pertimbangan penting dalam pengambilan keputusan izin.
Ringkasan
Sebuah proposal dari PT. Solusi Pariwisata Inovatif (SPI) untuk mengembangkan wisata seaplane dan glamping di Danau Segara Anak, Gunung Rinjani, memicu penolakan keras dari berbagai elemen masyarakat. Protes besar digelar pada 9 Juli 2025, dengan inti penolakan pada potensi kerusakan ekosistem rapuh Danau Segara Anak serta nilai sakralnya bagi masyarakat adat Sasak. Ketua DPRD NTB dan Gubernur NTB juga menyatakan kekhawatiran dan menekankan pentingnya konservasi dalam setiap proyek di Rinjani.
Menanggapi penolakan, Kepala Balai TNGR Yarman menjelaskan bahwa PT SPI masih dalam tahap pengurusan Izin Lingkungan (UKL UPL) dan kajian mendalam. Proses perizinan melibatkan sosialisasi publik dan harus memenuhi standar kelestarian lingkungan agar izin dapat diterbitkan. BTNGR menegaskan akan memprioritaskan prinsip kehati-hatian demi kelestarian kawasan dan telah mencatat protes masyarakat sebagai pertimbangan penting bagi Kementerian Kehutanan.