JAKARTA, KOMPAS.com — Dua raksasa hiburan terkemuka asal Amerika Serikat, Disney dan Universal, secara resmi telah melayangkan gugatan terhadap perusahaan kecerdasan buatan (AI) terkemuka, Midjourney. Gugatan ini menandai babak baru dalam pertarungan hukum terkait hak cipta di era teknologi AI generatif.
Dalam tuntutan hukum yang diajukan ke pengadilan federal di Los Angeles, keduanya menuding generator gambar buatan Midjourney telah menghasilkan visual yang secara terang-terangan meniru karakter-karakter ikonik milik mereka tanpa izin yang sah. Mereka menyebut Midjourney sebagai “lubang plagiarisme yang tak berdasar” karena diduga telah menciptakan salinan tak terhitung jumlahnya dari tokoh-tokoh populer seperti Darth Vader dari Star Wars, Elsa dari Frozen, dan Minion dari Despicable Me. Disney bahkan secara spesifik menyebut karakter Marvel seperti Spiderman, Hulk, Iron Man, serta tokoh legendaris Yoda juga muncul dalam gambar yang dihasilkan oleh platform AI tersebut.
Menanggapi hal ini, Kepala Bagian Hukum Disney, Horacio Gutierrez, menegaskan bahwa pihaknya sangat terbuka terhadap pemanfaatan AI, asalkan dilakukan secara etis dan bertanggung jawab. “Kami optimistis AI bisa digunakan secara bertanggung jawab sebagai alat untuk memajukan kreativitas manusia,” ujarnya, seperti dilansir dari BBC pada Senin (16/6/2025). Namun, Gutierrez menekankan bahwa “pembajakan tetaplah pembajakan, dan fakta bahwa pembajakan ini dilakukan oleh perusahaan AI tidak menjadikannya kurang melanggar hak cipta.”
Midjourney sendiri adalah perusahaan rintisan yang berbasis di San Francisco. Mereka dikenal karena mengembangkan sistem canggih untuk pembuatan gambar berbasis perintah teks. Teknologi inovatif ini memungkinkan pengguna untuk hanya mengetikkan deskripsi, kemudian AI akan menghasilkan gambar visual yang sesuai dengan instruksi tersebut. Terlepas dari gugatan ini, Midjourney menunjukkan kinerja finansial yang impresif, dengan keuntungan mencapai 300 juta dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 4,88 triliun (kurs 1 dollar AS = Rp 16.270) sepanjang tahun lalu. Selain itu, mereka juga dikabarkan tengah dalam tahap pengembangan layanan video yang akan segera diluncurkan.
Mengenai aspek hukum, Profesor hukum dari Universitas Syracuse, Shubha Ghosh, menyatakan bahwa banyak gambar yang diproduksi Midjourney tampak seperti salinan langsung dari karakter berhak cipta. “Banyak gambar yang diproduksi Midjourney tampaknya hanya merupakan salinan dari karakter berhak cipta yang mungkin berada di lokasi baru atau dengan latar belakang baru,” jelas Ghosh. Ia menambahkan bahwa gambar-gambar tersebut “sepertinya tidak diubah dengan cara yang kreatif atau imajinatif.” Meskipun demikian, Ghosh mengakui bahwa dalam hukum hak cipta, terdapat ruang untuk kreativitas berbasis karya terdahulu, selama hasil akhirnya memberikan nilai tambah yang signifikan.
Senada dengan pandangan tersebut, Randy McCarthy dari firma hukum Hall Estill berpendapat bahwa gugatan ini tidak akan mudah dimenangkan. “Tidak ada litigasi yang benar-benar pasti, dan itu berlaku untuk Disney dan Universal dalam kasus ini,” katanya. McCarthy menambahkan bahwa pengadilan masih harus mengevaluasi sejumlah aspek krusial, termasuk ketentuan layanan Midjourney dan apakah penggunaan gambar-gambar tersebut dapat dikategorikan sebagai penggunaan wajar (fair use) atau tidak.
Di situs resminya, Midjourney menggambarkan diri mereka sebagai “laboratorium riset independen” yang didanai secara mandiri dan mengklaim hanya memiliki kurang dari selusin karyawan tetap. Perusahaan ini dipimpin oleh David Holz, yang juga merupakan pendiri perusahaan perangkat keras Leap Motion. Beberapa nama besar di dunia teknologi, seperti mantan CEO GitHub Nat Friedman dan pendiri Second Life Philip Rosedale, tercatat sebagai penasihat Midjourney.
Kasus hukum ini mencerminkan hubungan yang semakin rumit dan dinamis antara Hollywood dan teknologi AI. Industri hiburan, yang dikenal sebagai pusat kreativitas, kini dihadapkan pada dilema: melihat AI sebagai peluang revolusioner sekaligus ancaman potensial terhadap kekayaan intelektual dan mata pencarian. Dua tahun silam, para aktor dan penulis skenario bahkan sempat menggelar aksi mogok massal, menuntut perlindungan terhadap dampak AI dalam produksi kreatif. Namun, terlepas dari kekhawatiran tersebut, penggunaan AI kini semakin marak dan terintegrasi di berbagai aspek dunia film, televisi, hingga gim video. Contoh nyata adalah dua film yang bersaing di ajang Oscar, Emilia Perez dan The Brutalist, yang memanfaatkan AI untuk memodifikasi suara. Teknologi serupa juga telah diaplikasikan untuk membuat aktor-aktor senior seperti Tom Hanks dan Harrison Ford tampak lebih muda di layar lebar, menunjukkan sejauh mana AI telah meresap ke dalam proses produksi hiburan.
Ringkasan
Dua raksasa hiburan, Disney dan Universal, secara resmi menggugat perusahaan AI Midjourney atas dugaan pelanggaran hak cipta. Mereka menuduh generator gambar AI Midjourney telah menghasilkan visual yang secara terang-terangan meniru karakter ikonik milik mereka, seperti Darth Vader dan Elsa, tanpa izin yang sah. Disney menyebut Midjourney sebagai “lubang plagiarisme yang tak berdasar” karena telah menciptakan salinan tak terhitung dari tokoh-tokoh populer tersebut. Meskipun terbuka terhadap AI yang etis, Disney menegaskan bahwa pembajakan tetaplah pelanggaran hak cipta, terlepas dari siapa pelakunya.
Midjourney sendiri adalah perusahaan rintisan di San Francisco yang mengembangkan sistem pembuatan gambar berbasis perintah teks. Menurut Profesor Hukum Shubha Ghosh, banyak gambar yang diproduksi Midjourney tampak seperti salinan langsung karakter berhak cipta tanpa modifikasi kreatif signifikan. Meskipun demikian, kasus ini diperkirakan tidak mudah dimenangkan, karena pengadilan perlu mengevaluasi aspek seperti penggunaan wajar dan ketentuan layanan Midjourney. Gugatan ini menyoroti hubungan yang semakin rumit antara industri hiburan dan teknologi AI, di mana AI dilihat sebagai peluang sekaligus ancaman terhadap kekayaan intelektual.