Pelaku industri pariwisata memproyeksikan adanya potensi perlambatan pada tren perjalanan di sisa tahun 2025. Faktor utama yang disoroti adalah berkurangnya jumlah hari libur nasional dibandingkan paruh pertama tahun ini, yang sebelumnya menjadi pendorong signifikan permintaan perjalanan.
Pada semester I 2025, masyarakat menikmati sekitar 21 hari libur yang memungkinkan mereka bepergian tanpa perlu mengambil cuti tambahan secara drastis. Kondisi ini, yang efektif mendorong peningkatan permintaan perjalanan, diperkirakan tidak akan berlanjut di sisa bulan 2025. “Jumlah hari libur (di paruh akhir tahun) jauh lebih sedikit. Kami memproyeksi pasar akan lebih soft dibandingkan semester satu, dan kami sudah mulai bersiap untuk kondisi tersebut,” ungkap Co-Founder & CMO Tiket.com, Gaery Undarsa, dalam acara Power Lunch GDP Venture di Midaz Senayan Golf, Jakarta Selatan, Rabu (23/7).
Meskipun demikian, minat masyarakat untuk berlibur dan bepergian diproyeksikan tetap tinggi. Berdasarkan data internal Tiket.com, permintaan liburan saat musim libur sekolah mencatat lonjakan yang sangat signifikan. Bahkan, pada musim sepi pun, terlihat adanya pertumbuhan dibandingkan tahun sebelumnya, mengindikasikan ketahanan sektor ini.
Gaery Undarsa juga mengamati bahwa liburan kini telah bertransformasi menjadi prioritas pengeluaran rumah tangga. Jika dahulu kegiatan ini hanya dilakukan jika ada sisa anggaran, kini banyak keluarga secara proaktif mengalokasikan anggaran liburan sejak awal tahun. Mereka cenderung memangkas pengeluaran di pos lain demi memastikan rencana perjalanan tetap terlaksana, ketimbang menunda atau membatalkan liburan.
“Jadi budget itu tuh bukan menjadi budget sisa, tapi memang budget yang sudah di-plotting. Dan bahkan bisa saya dibilang, kalau misalnya (masyarakat) ada penurunan (pendapatan), ya mereka akan kurangi (pengeluaran) di hal yang lain. Mungkin bisa jadi,” sebutnya.
Selain itu, ia menyebutkan adanya perubahan preferensi destinasi wisata, yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan melemahnya daya beli masyarakat. “Yang biasanya ke Amerika atau Eropa, sekarang pilih Jepang. Yang biasa ke Jepang, kini pilih Malaysia. Bahkan ada yang akhirnya berlibur domestik. Tapi secara volume, orang masih tetap jalan,” tutur Gaery. Ini menunjukkan adaptasi konsumen terhadap kondisi ekonomi tanpa mengurangi keinginan untuk berwisata.
Permintaan Liburan 2025 Tak Selalu Kuat
Di sisi lain, gambaran dari sektor perhotelan memberikan nuansa yang lebih kompleks. Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Yuno Abeta Lahay, mencatat bahwa tingkat keterisian kamar hotel memang sempat meningkat selama periode libur panjang dibandingkan akhir pekan biasa. Namun, peningkatan ini belum mencapai angka ideal yang diharapkan.
“Kalau misalnya weekend biasanya itu tuh, rata-rata kita ambil contoh (hotel) di Jabodetabek, itu kurang lebih di 56 sampai 60 persen gitu ya. Nah di, libur panjang ini hanya di kisaran 68 persen aja okupansinya,” ujar Yuno saat dihubungi kumparan, dikutip Rabu (23/7). Meskipun okupansi hotel saat libur panjang, termasuk Idul Adha dan libur sekolah, menunjukkan kenaikan dibandingkan pekan sebelumnya, angkanya tidak mencapai 100 persen dan hanya berkisar di 68 persen. Peningkatan ini, menurut Yuno, kemungkinan besar dipengaruhi oleh momen gajian para pekerja.
Tantangan yang lebih mendasar juga diungkapkan oleh Menteri Pariwisata, Widiyanti Putri Wardhana. Ia mengakui bahwa penyusutan jumlah kelas menengah di Indonesia memberikan dampak langsung pada sektor pariwisata. “Indonesia kini menghadapi tantangan besar dengan menyusutnya kelas menengah. Populasi kelas menengah diperkirakan turun 16,6 persen dalam 5 tahun terakhir menjadi 47,8 juta orang,” kata Widiyanti. Penurunan daya beli kelompok ini dapat menjelaskan mengapa, meskipun minat berlibur tetap ada, ada pergeseran dalam pola pengeluaran dan pilihan destinasi wisata.
Ringkasan
Pelaku industri pariwisata memproyeksikan potensi perlambatan tren perjalanan pada semester II 2025 akibat berkurangnya jumlah hari libur nasional dibandingkan semester I. Meskipun demikian, minat masyarakat untuk berlibur diprediksi tetap tinggi dan kini telah menjadi prioritas pengeluaran rumah tangga. Konsumen cenderung memangkas pos pengeluaran lain demi rencana perjalanan, meski terjadi pergeseran preferensi ke destinasi yang lebih terjangkau.
Dari sektor perhotelan, tingkat keterisian kamar saat libur panjang belum mencapai angka ideal, dengan rata-rata okupansi di Jabodetabek sekitar 68%. Tantangan fundamental bagi industri ini juga berasal dari menyusutnya populasi kelas menengah di Indonesia. Penurunan daya beli kelompok ini mempengaruhi pola pengeluaran dan pilihan destinasi wisata.