Pesona Bawah Laut Tulamben Bali: Foto-Foto Menakjubkan

Pesona Bawah Laut Tulamben Bali: Foto-Foto Menakjubkan 1

Perjalanan menawan sejauh dua jam lebih dari Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali, membawa pengunjung ke sebuah permata tersembunyi: Desa Tulamben. Melintasi jalanan curam yang berkelok indah memutari lereng Gunung Agung, pemandangan alam yang memesona menjadikan perjalanan menuju desa ini terasa begitu singkat. Sesampainya di sana, sebuah gapura ikonik berhiaskan relief penyelam menyambut kedatangan para pengunjung, mengukuhkan identitas Tulamben sebagai desa wisata menyelam yang tersohor.

Setibanya di Tulamben, tak heran jika sebagian besar turis tampak sibuk dengan perlengkapan menyelam mereka. Di sepanjang jalan, pemandangan yang mendominasi adalah deretan dive center atau pusat penyelaman yang siap sedia mengantar para penyelam dari berbagai penjuru dunia untuk mengeksplorasi keindahan bawah laut perairan Laut Tulamben yang legendaris.

Kisah kemasyhuran Tulamben sebagai destinasi wisata selam berawal dari inisiatif seorang tokoh penyelam Bali era 1970-an, Nyoman Rena, bersama empat rekannya. Mereka diamanahi tugas oleh Pemerintah Daerah Bali untuk melakukan eksplorasi dive spot potensial di pulau tersebut. Berbekal informasi krusial dari TNI Angkatan Laut, Nyoman Rena pun memulai pencariannya untuk menemukan bangkai kapal Amerika Serikat USAT Liberty. Kapal kargo ini diketahui karam di perairan Laut Tulamben, tepatnya di Desa Kubu, Kecamatan Karangasem, Bali, pada tahun 1963, akibat hempasan lahar dingin pasca-erupsi Gunung Agung.

Setelah keberadaan bangkai kapal USAT Liberty berhasil dieksplorasi dan diverifikasi, daya tariknya segera memikat dua penyelam legendaris Indonesia: mendiang Wally Siagian, penulis buku fenomenal Diving Bali sekaligus pemilik dive center Bali International Diving Profesional, dan mendiang Avandy Djunaidi, yang dikenal lewat foto-foto menakjubkan dari area kapal karam tersebut. Dokumentasi visual dan tulisan dari kedua figur penting ini berperan besar dalam mendatangkan gelombang wisatawan serta penyelam, baik domestik maupun mancanegara, ke Desa Tulamben.

Menurut data dari Dinas Sejarah Angkatan Laut, bangkai kapal USAT Liberty Amerika Serikat memiliki panjang sekitar 125 meter dan kini bersemayam di kedalaman antara 10 hingga 30 meter. Riga Rizky Pratikno, seorang instruktur master selam, memperkirakan bahwa seorang penyelam memerlukan waktu sekitar 45 menit untuk mengelilingi seluruh bagian kapal tersebut.

“Ya, kalau keliling saja tanpa harus berhenti lama di satu spot, biasanya 45 menit,” jelasnya saat ditemui di Desa Tulamben, Kubu, Karangasem, Bali.

Riga juga menambahkan bahwa popularitas lokasi penyelaman di perairan Laut Tulamben tidak hanya terbatas pada bangkai kapal legendaris itu saja. Area ini juga sangat terkenal di kalangan pecinta fotografi makro bawah laut, berkat kekayaan biota laut kecil yang beraneka rupa dan penuh warna.

Bagi wisatawan yang tertarik untuk merasakan pengalaman menyelam di Tulamben, tersedia paket khusus untuk dua orang dengan harga Rp 2,5 juta per orang. Paket komprehensif ini mencakup 5 hingga 6 kali penyelaman, lengkap dengan seluruh perlengkapan yang dibutuhkan, serta pendampingan profesional sepanjang aktivitas menyelam.

I Nyoman Suastika, Kepala Dusun Desa Tulamben, menegaskan bahwa kehadiran dive center yang menjamur di desanya telah secara signifikan meningkatkan perekonomian desa. Catatan Kementerian Kebudayaan bahkan mengungkapkan bahwa pada periode 1942-1979, kondisi sosial ekonomi masyarakat Tulamben tergolong salah satu yang termiskin di Bali dengan pendapatan per kapita yang rendah.

“Dulu pendapatan desa ini sangat rendah dan tergolong desa yang miskin, tapi semenjak adanya area menyelam, desa ini mulai mengalami peningkatan secara ekonomi. Banyak dive center yang buka, sehingga mulai terbuka banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat, pendapatan masyarakat saat ini bisa mencapai Rp 4-5 juta per bulan,” ungkapnya.

Meskipun demikian, Suastika turut menyuarakan harapannya agar pemerintah daerah, khususnya pihak imigrasi, dapat lebih ketat dalam mengawasi keberadaan orang asing yang berprofesi sebagai pendamping selam tanpa izin. Ia menjelaskan bahwa praktik semacam itu berdampak pada berkurangnya pendapatan bagi pendamping selam atau buddy lokal di Desa Tulamben.

“Saya harapkan pemerintah daerah, khususnya imigrasi, berkolaborasi dengan masyarakat untuk mengawasi penyelam asing yang menjadi pendamping selam sehingga potensi ekonomi Tulamben sebagai objek wisata selam dapat terus meningkatkan ekonomi masyarakat dan pemerintah,” pungkas Suastika.

Ringkasan

Tulamben, Bali, terkenal sebagai desa wisata selam berkat bangkai kapal USAT Liberty yang karam di perairannya sejak 1963. Keberadaan bangkai kapal ini, yang ditemukan dan dipopulerkan oleh penyelam legendaris Indonesia, menarik banyak wisatawan dan penyelam domestik maupun mancanegara, meningkatkan perekonomian desa yang sebelumnya tergolong miskin.

Selain bangkai kapal, Tulamben juga menawarkan keindahan biota laut untuk fotografi makro bawah laut. Paket penyelaman komprehensif tersedia bagi wisatawan, dan peningkatan ekonomi desa terlihat dari pendapatan masyarakat yang kini mencapai Rp 4-5 juta per bulan. Namun, pengawasan terhadap penyelam asing yang bekerja tanpa izin sebagai pendamping selam perlu ditingkatkan untuk melindungi ekonomi lokal.