Relawan Kampus & Pendaki Gunung: Kisah Inspiratif & Tipsnya!

Relawan Kampus & Pendaki Gunung: Kisah Inspiratif & Tipsnya! 1

Belakangan ini, berita tentang tragedi meninggalnya seorang pendaki asal Brazil saat menaklukkan Gunung Rinjani masih hangat diperbincangkan. Insiden tersebut menjadi pengingat pahit bagi banyak pihak, sekaligus memicu komentar bahwa Rinjani bukanlah gunung yang cocok untuk pendaki pemula. Kisah ini sontak membawa saya kembali mengenang pengalaman pertama kali mendaki gunung, jauh di masa kuliah dulu.

Kala itu, saya memutuskan bergabung dengan Korps Sukarela (KSR), sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang berafiliasi dengan Palang Merah Indonesia (PMI) di kampus saya. KSR sendiri dikenal sebagai wadah bagi mahasiswa dari berbagai jurusan untuk mengembangkan keterampilan kepalangmerahan, memupuk rasa kemanusiaan, dan aktif berkontribusi dalam kegiatan sosial, baik di lingkungan kampus maupun masyarakat luas. Misi mulia inilah yang mendorong ketertarikan saya untuk menjadi bagian darinya.

Namun, proses penerimaan anggota baru KSR di kampus saya tidaklah mudah. Berbeda mungkin dengan kampus lain, kami harus melalui semacam penggemblengan atau ospek yang intensif. Latihan diadakan dua kali seminggu, menguji ketahanan fisik dan mental kami. Bagian yang paling menguras tenaga adalah lari maraton berkilo-kilometer mengelilingi area kampus. Tidak hanya panjang, treknya pun berbukit-bukit, dan kami harus melewatinya tanpa peduli panas atau hujan.

Selain lari, kami juga diwajibkan melakukan push-up dan squat jump dalam jumlah masif hingga tubuh bergetar. Tak jarang, kami harus merayap di aspal hingga siku dan lutut lecet, serta berbagai latihan fisik lain yang tak kalah kerasnya. Sikap senior pun terkesan sangat disiplin dan kurang ramah. Bentakan dan teguran keras menjadi hal biasa jika kami melakukan kesalahan, konon agar kami tidak menjadi pribadi yang lembek. Kondisi ini membuat banyak teman akhirnya memilih mengundurkan diri karena tidak sanggup. Namun, saya dan beberapa teman, berjumlah kurang dari 20 orang, berhasil bertahan hingga akhirnya resmi diangkat menjadi anggota.

Salah satu alasan kuat saya untuk terus bertahan adalah materi pelatihan dasar yang diberikan KSR, meliputi pertolongan pertama, kesehatan umum, hingga penanggulangan bencana. Sejak dulu, saya memang memiliki impian menjadi relawan, bahkan sempat bermimpi bisa berpetualangan ke pulau terpencil atau Afrika, meskipun itu terdengar terlalu jauh, haha. Selama menjadi anggota KSR, kegiatan kerelawanan kami memang sebatas di dalam lingkungan kampus saja.

Setelah resmi menjadi anggota, kami mendapat berbagai tugas. Misalnya, membantu pemeriksaan kesehatan mahasiswa baru, seperti mengukur tekanan darah, tes buta warna, dan pemeriksaan dasar lainnya. Ketika ada fakultas yang mengadakan ospek, kami akan menjadi petugas kesehatan siaga, siap membantu jika ada mahasiswa baru yang sakit. Ada satu pengalaman unik yang tak terlupakan saat itu, yaitu ketika kami harus menghadapi beberapa mahasiswa yang dianggap kesurupan.

Seorang senior dari fakultas tersebut sempat mengaku memiliki keahlian tenaga dalam dan mencoba menyembuhkan mereka. Namun, alih-alih mereda, kondisi mahasiswa tersebut justru semakin parah. Dari pengamatan kami, sebenarnya mereka bukan kesurupan, melainkan mengalami syok berat akibat ospek yang terlalu keras. Tekanan yang berlebihan dari senior mungkin membuat mereka stres hingga mengalami reaksi kejiwaan semacam itu. Wajar saja, pada tahun-tahun itu, ospek memang masih menjadi kegiatan rutin dalam menyambut mahasiswa baru.

Selain tugas-tugas di atas, KSR juga kerap mengadakan kegiatan outdoor seperti berkemah, arung jeram, dan mendaki gunung. Untuk arung jeram, saya tidak ikut karena dilarang orang tua. Demikian pula dengan pendakian gunung, awalnya orang tua melarang keras, namun saya berhasil meyakinkan mereka untuk memberikan izin. Mengingat kembali, mengapa saya bisa bertahan melewati latihan keras KSR? Selain karena tujuan kemanusiaan yang mulia, saya juga ingin membuktikan kepada orang tua bahwa saya tidaklah lemah dan mampu menjalani berbagai kegiatan yang menantang. Kekhawatiran orang tua memang wajar, namun seyogianya tidak sampai membuat mereka menjadi terlalu protektif dan menghambat anak untuk berpetualang serta melangkah keluar dari zona nyaman mereka.

Mendapat restu orang tua untuk mendaki gunung membuat saya sangat antusias. Sayangnya, kegiatan ini tidak terlalu banyak diminati oleh teman-teman KSR lainnya. Hanya ada lima orang yang ikut. Kami semua belum memiliki pengalaman sama sekali dalam pendakian gunung. Oleh karena itu, kami meminta bantuan beberapa mahasiswa Fakultas Geologi yang sudah terbiasa mendaki untuk menjadi guide kami.

Gunung yang kami pilih adalah Gunung Geulis, sebuah gunung yang dikenal ramah bagi pendaki pemula dan menjadi favorit mahasiswa karena lokasinya tidak terlalu jauh dari kampus. Dengan ketinggian 1.281 MDPL, Gunung Geulis terletak di wilayah Sumedang. Kami memulai perjalanan dari kampus menuju kaki Gunung Geulis dengan penuh semangat. Para guide kami bahkan menantang kami untuk berjalan menggunakan peta kertas, menambah keseruan petualangan. Saya tidak merasa cemas atau takut sedikit pun, karena selain didampingi tiga mahasiswa Geologi yang berpengalaman, keempat teman KSR saya juga merupakan mahasiswa Fakultas Kedokteran. Yang terpenting, tentu saja saya terus berdoa agar Allah menjaga kami untuk sampai di puncak gunung dan kembali dengan selamat.

Setelah melewati hutan, kami mulai melangkah di jalur pendakian yang sudah tersedia. Kami saling mengingatkan untuk berhati-hati dan waspada terhadap kemungkinan ular atau bahaya lainnya. Pendakian terasa cukup melelahkan, tetapi berkat latihan lari berkilo-kilometer selama di KSR, kami tidak ada yang mengeluh terlalu banyak. Jika lelah, kami akan beristirahat sejenak, lalu melanjutkan perjalanan lagi. Beruntung, trek pendakiannya juga tidak terlalu curam.

Setelah sekitar tiga jam pendakian, akhirnya kami tiba di puncak gunung. Hal pertama yang menarik perhatian adalah keberadaan sebuah makam di sana. Entah makam siapa, namun terbayang betapa besar usaha yang dibutuhkan untuk memakamkan seseorang di ketinggian tersebut. Di puncak juga terdapat warung makanan. Namun, yang sedikit mengecewakan adalah tumpukan sampah yang cukup banyak. Rasanya ironis, bukankah orang-orang mendaki gunung untuk mendekatkan diri dengan alam, tetapi mengapa justru mengotori puncaknya?

Puncak Gunung Geulis sendiri merupakan tanah datar yang cukup luas dan aman. Ada dua pohon beringin ikonik yang gagah berdiri, bahkan terlihat jelas dari daratan di bawah. Kami kemudian berjalan menuju sebuah tugu yang menjadi penanda bahwa kami telah mencapai puncak Gunung Geulis. Dari sana, kami disuguhkan pemandangan daratan yang sangat luas di bawah. Sawah masih mendominasi lanskap sekitar Gunung Geulis pada waktu itu. Kami juga dapat melihat rangkaian pegunungan yang mengelilingi dataran Bandung dan Sumedang dengan pandangan yang lebih lapang.

Rasa letih seketika terbayar lunas oleh keindahan pemandangan yang tersaji. Hembusan angin yang cukup kencang membuat tubuh terasa segar kembali. Ternyata, inilah sensasi berada di puncak gunung. Pantas saja banyak orang yang gemar mendaki gunung, meskipun harus berlelah-lelah dan bersusah payah, karena ada sensasi kebahagiaan dan kepuasan tersendiri ketika berhasil menjejakkan kaki di puncaknya. Terbayang bagaimana rasanya bagi mereka yang mendaki gunung dengan ketinggian dan trek yang lebih ekstrem; pastilah kepuasan dan kebahagiaan yang dirasakan akan jauh lebih besar.

Kami menghabiskan beberapa waktu untuk berfoto dan menikmati panorama indah dari puncak. Tidak lama kemudian, guide kami mengingatkan bahwa sore sudah tiba dan kami harus segera turun jika tidak ingin terjebak gelap di perjalanan. Kami pun mulai menuruni gunung dengan waktu yang lebih cepat dibandingkan saat mendaki. Akhirnya, kami tiba kembali di kampus tepat saat waktu Maghrib. Kami sangat lega dan bersyukur karena tidak ada halangan berarti selama perjalanan, dan kami semua bisa kembali dengan selamat.

Saat itu, saya berpikir mungkin suatu hari nanti saya bisa mendaki gunung lagi, gunung yang lebih tinggi dengan pemandangan yang lebih memukau, seperti Gunung Rinjani di Lombok. Namun, hingga saat ini, pendakian ke Gunung Geulis ternyata menjadi yang pertama dan terakhir bagi saya. Apalagi sekarang saya sudah menjadi seorang ibu, dan fisik saya tidak lagi sekuat dulu. Terbayang betapa lelahnya jika kini saya harus mendaki gunung. Meski sudah bertahun-tahun berlalu, pengalaman tersebut tetap menjadi kenangan yang indah dan tak terlupakan.

Ringkasan

Penulis bergabung dengan Korps Sukarela (KSR) di kampus, sebuah UKM yang berafiliasi dengan PMI, terinspirasi oleh keinginan menjadi relawan dan berkontribusi dalam kegiatan kemanusiaan. Proses penerimaan anggota sangat intensif, melibatkan penggemblengan fisik seperti lari maraton dan latihan berat lainnya. Meskipun banyak yang mengundurkan diri, penulis bertahan berkat misi mulia KSR dan pelatihan keterampilan dasar seperti pertolongan pertama.

Salah satu kegiatan KSR adalah mendaki gunung, yang diikuti penulis bersama empat teman KSR dan dipandu mahasiswa Geologi berpengalaman. Mereka mendaki Gunung Geulis, sebuah gunung ramah bagi pemula, dan mencapai puncaknya setelah perjalanan sekitar tiga jam, dibantu oleh ketahanan fisik hasil latihan KSR. Pemandangan luas dari puncak memberikan kepuasan mendalam yang membayar lunas rasa lelah, menjadikan pengalaman ini kenangan indah meskipun menjadi pendakian pertama dan terakhir penulis.