Tragis! Hotel-Vila Pantai Bingin Bali Rata dengan Tanah: Ada Apa?

Tragis! Hotel-Vila Pantai Bingin Bali Rata dengan Tanah: Ada Apa? 1

Sebanyak 48 unit usaha yang diduga beroperasi secara ilegal telah dibongkar di sepanjang pesisir dan tebing Pantai Bingin, Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali. Penertiban ini, yang berlangsung pada Senin (21/7) lalu, menyasar beragam jenis akomodasi dan fasilitas pariwisata, mulai dari vila, hotel, homestay, penginapan, hingga restoran yang menjamur di kawasan tersebut.

Pantai Bingin sendiri dikenal dengan aksesnya yang unik, menuruni tebing curam. Observasi menunjukkan tebing ini telah diubah menjadi jalur tangga berliku yang didesain sedemikian rupa untuk memudahkan akses wisatawan. Tangga-tangga tersebut tak hanya berkelok-kelok, melainkan juga bercabang, menyerupai lorong-lorong yang menghubungkan satu vila ke vila lainnya, sebelum akhirnya setiap cabang berakhir di bibir pantai. Dinding-dinding bangunan yang berjejer di sepanjang jalur ini pun dihias artistik, kian menarik minat pengunjung. Dengan ketinggian sekitar 50 meter dari daratan hingga pantai, perjalanan naik turun memang membutuhkan tenaga ekstra.

Kondisi medan yang menantang ini turut diamini oleh salah satu karyawan, Putu Setya Pratama. Ia menuturkan pada Rabu (23/7) bahwa, “Kalau turun biasanya dua menit saja, tapi kalau naik mungkin 5 menit ke atas karena membutuhkan tenaga.” Pengakuannya ini menggambarkan realitas fisik yang harus dihadapi oleh para pekerja maupun pengunjung di lokasi tersebut.

Pasca-penertiban, seluruh tempat usaha ilegal di kawasan Pantai Bingin kini telah ditutup dan disegel. Pemandangan di lokasi menunjukkan sejumlah bangunan hotel, vila, dan restoran dalam kondisi hancur, dengan properti yang berserakan dan kamar-kamar yang telah dikosongkan. Ini mencerminkan skala operasi pembongkaran yang telah dilakukan.

Pemerintah setempat sebelumnya telah memberikan tenggat waktu sekitar satu bulan bagi para pemilik untuk mengosongkan bangunan sebelum proses pembongkaran total. Akibatnya, para karyawan terlihat sibuk bergotong royong, bahu-membahu memindahkan barang-barang dari bangunan tersebut ke rumah atau gudang pemilik, dalam upaya menyelamatkan aset yang tersisa.

Tragis! Hotel-Vila Pantai Bingin Bali Rata dengan Tanah: Ada Apa? 3

Putu Setya Pratama mengungkapkan bahwa vila tempatnya bekerja kini tidak lagi menerima pesanan penginapan dari wisatawan. Kendati demikian, untuk menyambung hidup dan menghabiskan sisa stok, mereka masih melayani penjualan makanan dan minuman, bahkan menyewakan payung di pantai. Pendapatan harian dari aktivitas ini, sekecil apapun, akan dibagi rata kepada sepuluh karyawan vila yang masih bertahan.

Ia menambahkan, “Kita hidup jualan minuman untuk di Pantai, angkut barang, jual minuman untuk kita makan,” sebuah kalimat yang dengan jelas menggambarkan perjuangan mereka untuk bertahan di tengah situasi yang sulit ini.

Tragis! Hotel-Vila Pantai Bingin Bali Rata dengan Tanah: Ada Apa? 5

Pembongkaran ini dilakukan karena status ilegal unit-unit usaha tersebut. Gubernur Bali Wayan Koster secara tegas menyatakan bahwa lahan yang digunakan adalah aset milik Pemerintah Kabupaten Badung. Selain itu, kawasan pesisir dan tebing di Pantai Bingin dikategorikan sebagai area hijau yang dilindungi, sehingga pembangunan dan pendirian tempat usaha tanpa izin jelas dilarang. Koster juga memastikan bahwa pemerintah akan memikirkan solusi bagi warga dan pekerja yang terdampak, terutama mereka yang kehilangan mata pencarian akibat penertiban usaha ilegal di Bali ini.

Menggarisbawahi pentingnya penegakan hukum, Koster menegaskan pada Senin lalu, “Tentu akan dipikirkan [pekerja masyarakat sekitar]. Kita juga bukan tidak melindungi, tentu melindungi, tapi kalau tidak tertib, melanggar aturan, menggunakan aset orang lain, apa itu bisa dibiarkan kan? Tidak boleh. Tidak boleh kita mendidik masyarakat untuk melakukan pelanggaran.” Pernyataan ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menjaga ketertiban dan kepatuhan terhadap regulasi.

Tragis! Hotel-Vila Pantai Bingin Bali Rata dengan Tanah: Ada Apa? 7

Di sisi lain, reaksi keberatan datang dari warga dan pelaku usaha di Pantai Bingin. Alex Barung, selaku kuasa hukum Persatuan Pedagang Pantai Bingin, menyatakan bahwa warga sangat menyayangkan pembongkaran ini dan keberatan dengan pernyataan Gubernur Koster. Ia menjelaskan bahwa masyarakat setempat telah turun-temurun menggantungkan hidup sebagai nelayan di pesisir tersebut. Sejak pariwisata Bali mulai berkembang pesat pada tahun 1980-an, warga secara bertahap mulai membangun usaha untuk menopang ekonomi mereka.

Barung menambahkan, pembangunan usaha oleh warga dilakukan secara mandiri, bahkan sebelum adanya peraturan penyelenggaraan tata ruang yang terbit pada tahun 2000-an. Seiring waktu, warga juga menerima bantuan modal atau investasi dari Warga Negara Asing (WNA) untuk mengembangkan usaha mereka. Tercatat, lebih dari 40 WNA bekerja sama dengan masyarakat lokal dalam mengembangkan dan mengelola kawasan wisata Pantai Bingin ini.

Menyadari pentingnya legalitas, pada tahun 2021, warga atas nama desa adat telah mengajukan permohonan Hak Pengelolaan (HPL) Pantai Bingin kepada Pemkab Badung. Pengajuan ini dilakukan setelah terbitnya aturan mengenai penyelenggaraan tata ruang dan penetapan kawasan lindung, menunjukkan upaya warga untuk menyesuaikan diri dengan regulasi yang ada.

Tragis! Hotel-Vila Pantai Bingin Bali Rata dengan Tanah: Ada Apa? 9

Alex Barung menekankan skala dampak dari pembongkaran ini dengan menyatakan, “Pantai Bingin ini dikuasai oleh masyarakat Pantai Bingin ini, oleh masyarakat Pecatu itu sejak turun-temurun, sebelum peraturan perundang-undangan itu ada.” Ia memperkirakan jumlah pekerja yang terdampak mencapai 1.500 hingga 2.000 orang, dengan sekitar 40 tempat usaha yang sebagian besar beroperasi melalui mekanisme kerja sama antara WNA dan masyarakat lokal.

Pembongkaran usaha ilegal di Pantai Bingin ini dilandasi oleh serangkaian peraturan yang telah dilanggar oleh para pemilik usaha. DPRD Bali sebelumnya telah mengungkap deretan aturan tersebut, diawali dengan Pelanggaran PP Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara juncto PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.

Pelanggaran lainnya mencakup Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang serta Peraturan Pemerintah Nomor 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Selain itu, unit usaha tersebut juga melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Regulasi pesisir Bali yang turut dilanggar termasuk Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai, serta Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Gianyar, dan Tabanan (SARBAGTA).

Terakhir, pelanggaran juga terjadi pada peraturan daerah terbaru, yaitu Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2023 tentang Salinan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2023-2043, juncto Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2023 tentang Haluan Pembangunan Bali Masa Depan 100 Tahun Bali Era Baru 2025-2125. Deretan aturan ini menegaskan kompleksitas legalitas yang melingkupi kasus pembongkaran Pantai Bingin.

Ringkasan

Sebanyak 48 unit usaha ilegal, termasuk vila, hotel, dan restoran, telah dibongkar di sepanjang pesisir Pantai Bingin, Kabupaten Badung, Bali, pada 21 Juli lalu. Penertiban ini dilakukan karena unit-unit usaha tersebut beroperasi di lahan milik Pemerintah Kabupaten Badung yang merupakan area hijau dan dilindungi. Pembongkaran tersebut didasari oleh pelanggaran berbagai peraturan penataan ruang, pengelolaan wilayah pesisir, dan lingkungan hidup.

Aksi ini mengakibatkan penutupan dan kerusakan bangunan, serta berdampak pada 1.500 hingga 2.000 pekerja yang kini kehilangan mata pencarian. Meskipun Gubernur Bali Wayan Koster menegaskan pentingnya penegakan hukum dan menjaga ketertiban, warga dan pelaku usaha menyayangkan pembongkaran karena telah membangun usaha secara turun-temurun di lokasi tersebut, bahkan sempat mengajukan permohonan legalitas Hak Pengelolaan pada tahun 2021.