Pada Jumat sore yang cerah, sebuah perjalanan bus mengantarkan rombongan menuju Zhujiajiao Town, sebuah destinasi memukau yang berjarak sekitar satu jam dari hotel di Kompleks Shanghai University of Sports. Namun, perjalanan pulang memakan waktu hampir dua jam, kemungkinan besar akibat kepadatan lalu lintas pulang kantor dan persiapan akhir pekan.
Zhujiajiao Town, yang sering dijuluki “Venice of Shanghai“, adalah kota kuno yang indah di Distrik Qingpu, Shanghai, Tiongkok. Dengan sejarah lebih dari 1.700 tahun, kota ini telah memantapkan posisinya sebagai salah satu destinasi wisata Shanghai yang paling populer. Meski luas keseluruhannya mencapai 138 km², area wisata intinya terhampar seluas 3 km², menawarkan kekayaan objek wisata mulai dari budaya hingga kuliner.
Berbagai daya tarik menanti pengunjung di Zhujiajiao Town. Di antaranya adalah Jembatan Fangsheng, jembatan batu tertua dan terbesar di sana, yang megah berdiri sejak tahun 1571. Pengunjung juga dapat menikmati pemandangan kota yang menawan dari atas air dengan menaiki perahu kayu tradisional di sepanjang kanal. Selain itu, North Street (Beida Jie) menjadi pusat kehidupan dengan deretan toko suvenir, kedai teh, dan restoran tradisional. Keindahan klasik Kezhi Garden dengan paviliun, kolam, dan bangunan bergaya Dinasti Qing, serta nuansa spiritual di Kuil Kota God (Chenghuangmiao), sebuah kuil Taois kuno, turut menambah pesona kota ini.
Selama kunjungan, saya hanya sempat mengabadikan momen dengan berfoto sambil berjalan santai. Sebuah racikan jus semangka nan segar berhasil memuaskan dahaga di tengah teriknya cuaca. Dengan porsi jumbo, jus tersebut dihargai 24 Yuan. Mengingat cuaca saat ini, sangat disarankan untuk membawa payung atau topi. Saya sempat tertarik untuk mencoba mengenakan pakaian tradisional Tiongkok yang menyerupai kostum dari film-film fantasi, namun urung dilakukan karena “butuh waktu lama,” seperti yang disampaikan teman. Memang, proses berdandan membutuhkan waktu, sehingga untuk dapat menikmati setiap sudut kota, disarankan untuk datang sejak pagi hari.
Pengalaman tiga hari pertama, setelah menerima materi riset dan kunjungan langsung, telah membentuk pandangan saya tentang kemajuan Tiongkok yang melampaui negara-negara anggota RCEP lainnya. Kunci utamanya terletak pada inovasi China yang tiada henti, didampingi komitmen kuat untuk tidak meninggalkan kebudayaan asli. Terlihat jelas adanya investasi besar-besaran dalam pemberdayaan masyarakat, ditambah dengan etos kerja keras yang terpadu dari setiap elemen masyarakat, dan jiwa “kompetisi” yang senantiasa hidup.
Semangat kompetitif dan investasi besar ini juga terlihat jelas dalam dunia olahraga Tiongkok. Berkat dukungan penuh dan jiwa masyarakat yang sangat kompetitif, Tiongkok berhasil menjadi juara dunia di hampir semua cabang olahraga, kecuali mungkin sepak bola. Prof. Chao, saat memberikan materi, sempat berkelakar mengenai kekalahan dari Timnas Garuda, “Sepertinya kita harus menambah investasi di olahraga sepak bola ini,” ujar beliau sambil tertawa. Celetukan ini disambut tepuk tangan kecil yang sedikit ragu dari peserta Indonesia, disaksikan oleh tetangga ASEAN dari Malaysia, Thailand, dan Laos.
Kembali ke Zhujiajiao Town, inovasi yang diterapkan di sana secara nyata telah berhasil mengangkat UMKM China, memungkinkan mereka menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Hampir seluruh transaksi pembayaran dilakukan secara cashless, dengan Alipay menjadi metode yang paling dominan. Meskipun demikian, beberapa gerai waralaba internasional seperti McDonald’s dan Starbucks ditemukan di kawasan pinggiran, mengindikasikan adanya pembatasan di area inti wisata.
Program ini secara cerdas telah berhasil “mempromosikan” pariwisata China secara gratis ke berbagai negara. Bayangkan saja, setiap peserta akan dengan antusias menceritakan dan membagikan pengalaman mereka di media sosial. Lebih jauh lagi, strategi ini memastikan perekonomian Tiongkok terus tumbuh melalui pemberdayaan masyarakat lokal. Sebagai contoh, setiap peserta diberikan uang saku sebesar 150 Yuan per hari, yang diserahkan langsung di hari pertama dengan pesan “Silakan dihabiskan.” Tentu saja, program ini dirancang sedemikian rupa dengan mengunjungi tempat-tempat wisata dan pusat perbelanjaan yang “menggoda” untuk menghabiskan uang saku, sehingga seluruh pengeluaran secara langsung kembali ke pertumbuhan ekonomi Tiongkok.
Mulai dari tiket pulang-pergi, akomodasi, fasilitas pendukung akomodasi, antar-jemput bus, makanan, minuman, dan sebagainya, semuanya menjadi pilar penting bagi pertumbuhan ekonomi mereka. Dengan ratusan, bahkan ribuan peserta dari puluhan negara yang datang dalam beberapa gelombang dan puluhan “seminar” berbeda, dampak ekonominya sangat signifikan. Seluruh kegiatan ini juga dibekali dengan transparansi yang luar biasa, menjadikan program berjalan sangat optimal. Ada banyak pelajaran “amanah” yang bisa kita ambil dari sini.
Semoga ada cerita menarik lainnya di kemudian hari.
Ringkasan
Zhujiajiao Town, yang dijuluki “Venice of Shanghai,” adalah kota kuno berusia lebih dari 1.700 tahun di Distrik Qingpu. Sebagai destinasi wisata populer di Shanghai, kota ini menawarkan berbagai daya tarik seperti Jembatan Fangsheng, pengalaman menaiki perahu di kanal, North Street yang ramai, Kezhi Garden, dan Kuil Kota God.
Zhujiajiao berhasil mengangkat UMKM lokal melalui inovasi, terlihat dari dominasi transaksi tanpa tunai menggunakan Alipay. Keberhasilan ini didukung oleh strategi Tiongkok dalam memberdayakan masyarakat dan mempromosikan pariwisata, di mana program kunjungan memastikan pengeluaran peserta kembali langsung ke ekonomi lokal, mendorong pertumbuhan UMKM dan perekonomian secara keseluruhan.