Tren mendaki gunung kini kian digandrungi banyak kalangan. Namun, di balik pesona puncaknya, isu keamanan mendaki justru menjadi sorotan utama. Pembicaraan mengenai aktivitas ini semakin sering mencuat, bukan tanpa sebab. Kurangnya antisipasi terhadap faktor keamanan, seperti kondisi fisik yang lelah, telah berujung pada insiden jatuhnya korban dari ketinggian di salah satu gunung di Indonesia.
Keselamatan memang merupakan elemen paling krusial dalam setiap pendakian gunung. Ini mencakup kesiapan fisik dan stamina yang prima, kelengkapan peralatan yang memadai, pakaian yang memberikan perlindungan optimal, serta kehadiran rekan pendaki atau pemandu yang berpengalaman. Tanpa persiapan matang di aspek-aspek ini, keputusan untuk memulai pendakian patut dipertimbangkan kembali.
Insiden jatuhnya seorang wisatawan asal Brazil saat mendaki Gunung Rinjani beberapa waktu lalu tak pelak memicu gelombang refleksi dan berbagi pengalaman pendakian. Banyak yang tergerak untuk menuangkan kisah mendaki gunung mereka, termasuk saya yang sempat membaca penuturan seorang teman di Facebook saat ia menjelajah Gunung Ijen, serta artikel Pak Chaerul Sabara tentang pengalamannya di Gunung Panderman. Inti dari berbagai kisah ini sungguh berharga: mendaki gunung bukanlah sekadar ajang gagah-gagahan atau pamer kebolehan. Ia menuntut persiapan matang dan kehati-hatian yang luar biasa.
Membaca status teman yang mengisahkan pendakiannya di Gunung Ijen seketika membawa ingatan saya melayang puluhan tahun silam. Barulah saya tersadar: oh, ternyata saya pun pernah merasakan sensasi mendaki gunung! Tentu, ketinggiannya tak sebanding dengan Ijen. Bahkan, Gunung Panderman – gunung yang pernah saya daki itu – dikenal sebagai jalur pendakian dengan tingkat kesulitan yang rendah, seperti yang disebutkan oleh Chaerul Sabara (2025).
Wajar rasanya jika saya mengangguk-angguk setuju saat membaca tulisan Pak Chaerul tersebut. Pengalaman saya saat mendaki Panderman memang tak menemui kesulitan yang berarti, terutama jika dibandingkan dengan jalur ekstrem di Gunung Rinjani yang berpasir sempit dengan jurang di sisi kanan-kirinya. Jalur pendakian Panderman terasa relatif lebih landai; sekalipun ada tanjakan, lerengnya tidak pernah terlalu curam.
Jadi, kisah ini bermula ketika saya masih duduk di bangku kelas 1 SMA. Kesempatan mendaki Panderman hadir melalui kegiatan ekstrakurikuler Pencak Silat yang saya ikuti. Jika ingatan saya tak keliru, pendakian ini merupakan bagian dari kegiatan olah fisik sekaligus orientasi bagi anggota baru, sebuah momen yang menguji ketahanan fisik sekaligus kebersamaan di usia belia.
Begitu lamanya waktu berlalu sejak pendakian itu, detailnya pun memudar dari ingatan. Saya bahkan perlu menghubungi seorang teman SMA, Arci, untuk mencoba merangkai kembali pecahan kenangan. Ia pun tak mengingat semuanya, namun memori yang ia miliki jauh lebih banyak daripada saya.
Kami berangkat berombongan dari Malang menuju Gunung Panderman yang berlokasi di Kota Batu. Saya tak ingat bagaimana persisnya kami memulai perjalanan dari titik turun kendaraan menuju jalur pendakian, namun potongan ingatan saat mulai menanjak begitu jelas. Kala itu, napas saya terengah-engah, namun setiap kali menemukan jalan datar, saya justru berlari. Saya masih ingat tawa renyah para senior yang melihat kegesitan saya yang justru paling payah saat menanjak. Merasa saya junior yang paling kelelahan, seorang senior berinisiatif menawarkan bantuan dengan “menarik” tangan saya.
Jangan bayangkan adegan romantis ala film televisi; metode bantuannya sungguh praktis. Senior itu mengambil sebatang dahan kering, meminta saya memegang salah satu ujungnya, sementara ia memegang ujung lainnya dan berjalan mendahului. Berkat “metode tarik-menarik” yang cerdas ini, langkah saya terasa jauh lebih ringan dan terbantu.
Begitu lamanya waktu berlalu, saya bahkan tak yakin apakah rombongan kami berhasil mencapai puncak Gunung Panderman atau tidak. Namun, menurut Arci, kami memang sampai di puncak dan sempat beristirahat. Ingatan samar saya hanya menangkap momen ketika saya terbaring telentang di tanah, tak peduli apa pun, saking lelahnya sekujur tubuh.
Arci juga menambahkan bahwa kami buru-buru diminta turun karena ada petir. Saya ingat samar-samar, memang ada gerimis saat kami berada di puncak, namun syukurlah, dalam perjalanan turun, hujan mereda dengan sendirinya.
Saat perjalanan turun, tentu saja saya tidak lagi “ditarik” oleh senior—bisa-bisa malah terjungkal jika di jalanan menurun. Anehnya, kondisi fisik saya saat itu justru terasa segar bugar. Saya bahkan beberapa kali berlari, hingga salah satu senior berkomentar, “Gaya banget sudah bisa lari-lari, awas nanti kecapaian lagi.” Perbedaan kondisi saya antara saat mendaki dan saat turun memang 180 derajat. Jika saat naik saya lemas tak berdaya seolah tak sanggup lagi menanggung beban mendaki gunung, saat turun saya justru merasa sombong dan percaya diri, seolah tak lagi membutuhkan bantuan senior berkarisma yang tadi menarik tangan saya. Ah, maklumlah, namanya juga remaja belasan tahun, sedang labil dan kadang sedikit “songong.”
Dari pendakian Gunung Panderman yang terasa jutaan tahun lalu ini (sebuah hiperbola untuk menggambarkan lamanya), beberapa pelajaran berharga dapat ditarik:
1. Motivasi mendaki gunung tak selalu karena keinginan pribadi atau pemandangan indah, melainkan terkadang karena ‘keterpaksaan’ akibat tuntutan kegiatan ekstrakurikuler yang menguji fisik anggota baru dengan ‘jalan santai’ di alam bebas.
2. Meskipun Gunung Panderman dikenal sebagai gunung yang relatif aman untuk didaki, persiapan mendaki tetap krusial. Pastikan untuk membawa bekal air minum, makanan ringan, dan obat-obatan pribadi untuk antisipasi darurat.
3. Pendakian sebaiknya selalu ditemani oleh pemandu profesional atau setidaknya senior yang telah berpengalaman dan menguasai medan. Seperti pengalaman saya dulu, kehadiran para senior yang memahami jalur pendakian Gunung Panderman dengan baik sangat menjamin keamanan dan kelancaran kegiatan.
4. Dokumentasikan setiap momen pendakian. Mengambil gambar adalah cara terbaik untuk mengabadikan kenangan. Saya pribadi sangat menyesal tak memiliki dokumentasi apa pun dari pendakian Gunung Panderman puluhan tahun silam, di era foto klise. Padahal, selembar foto, bahkan dalam pose paling lelah sekalipun, akan menjadi aset berharga untuk dikenang dan dibagikan di kemudian hari.
5. Keselamatan dalam pendakian adalah sebuah anugerah. Sekalipun gunung dianggap aman, insiden kecil maupun besar selalu bisa terjadi. Oleh karena itu, jangan pernah jumawa; jalani setiap langkah pendakian dengan penuh kehati-hatian hingga kembali ke rumah dengan selamat.
6. Segala sesuatu bisa terjadi di gunung. Jika merasa lelah berlebihan atau sakit di bagian tubuh tertentu, jangan ragu untuk segera melapor kepada pemandu atau pendamping profesional. Mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman untuk mengambil tindakan yang tepat dalam kondisi darurat.
Demikianlah, rangkuman kisah dan pelajaran berharga yang dapat saya petik dari pendakian Gunung Panderman puluhan tahun silam. Intinya: mendaki gunung menuntut kerendahan hati dan ketenangan. Selalu ajak rekan-rekan yang menguasai medan untuk sebuah pengalaman yang aman dan berkesan. Dan yang tak kalah penting, selalu ingat etika konservasi: “Jangan mengambil apapun kecuali gambar, jangan membunuh apapun kecuali waktu, jangan meninggalkan apapun kecuali jejak.” Salam Lestari.
Ringkasan
Tren mendaki gunung kian populer, namun isu keamanan seperti kesiapan fisik dan peralatan menjadi sorotan utama, mengingat insiden yang terjadi. Keselamatan adalah elemen krusial yang menuntut persiapan matang dan kehati-hatian luar biasa, bukan sekadar ajang pamer. Penulis teringat pengalaman pendakiannya di Gunung Panderman saat SMA, yang relatif mudah namun tetap memberikan pelajaran berharga.
Pendakian tersebut mengajarkan pentingnya persiapan fisik, peralatan memadai, dan pendampingan senior berpengalaman. Mendokumentasikan momen dan menjaga keselamatan adalah hal vital, serta tidak bersikap jumawa di gunung. Intinya, mendaki gunung menuntut kerendahan hati dan ketenangan, selalu didampingi rekan yang menguasai medan, serta menjunjung tinggi etika konservasi.