Meskipun wisata ke luar negeri sering diasosiasikan dengan ragam manfaat pribadi, hasil penelitian empiris justru menunjukkan adanya sejumlah mudarat yang menyertainya. Artikel ini akan mengulas manfaat perjalanan ke luar negeri berdasarkan pengalaman personal saya, termasuk kisah-kisah anak dan istri saya, serta perjalanan dinas saya yang bukan semata-mata untuk rekreasi. Di bagian akhir, akan dibahas pula potensi kerugian dari perjalanan internasional, merujuk pada beberapa literatur ringan yang saya baca.
Meski pengalaman kami bepergian ke luar negeri terbilang terbatas, saya memberanikan diri untuk merenungkan berbagai hikmah yang didapat dari setiap perjalanan.
Manfaat Berwisata/Bepergian ke Luar Negeri
Ada banyak pelajaran berharga dan rasa syukur yang muncul dari berbagai pengalaman tak terduga, bahkan yang kurang menyenangkan, selama berada di luar negeri. Berikut adalah beberapa di antaranya.
Rasa Syukur Tinggal di Semarang
Pada tahun 2003, saya berkesempatan mengunjungi The University of Newcastle upon Tyne di Inggris, berkat biaya dari British Council. Saat itu, kaki saya sedang sakit asam urat parah. Dua hari sebelum keberangkatan, dokter menyuntik kaki saya hingga terasa sembuh total. Namun, sesampainya di Singapura untuk transit, rasa sakit itu kembali menyerang, membuat saya kesulitan berjalan.
Selama hampir dua minggu di Newcastle, saya sungguh merasakan betapa nikmatnya hidup di Indonesia, khususnya di Semarang. Asam urat ternyata tak mengenal kompromi; ia terus menyerang kaki saya, padahal dua kali sehari saya harus berjalan satu hingga dua kilometer untuk mencari makan dari asrama.
Saya membayangkan betapa nyaman dan indahnya jika Newcastle memiliki kemudahan seperti Semarang. Di Semarang, asam urat tidak akan menyulitkan saya mencari makanan karena aneka penjual makanan seperti putu, bakpao, nasi goreng, siomay, sate Madura, bakso, mie lontong, hingga pempek, setiap hari melintas di depan rumah. Sayangnya, tidak ada penjual makanan keliling di depan asrama tempat saya tinggal di Newcastle. Pengalaman asam urat saat wisata ke luar negeri ini benar-benar menyadarkan saya betapa nyaman dan mudahnya hidup di Indonesia.
Indonesia Ternyata Maju
Pada tahun 2014, saya berkunjung ke Surat-Gujarat, India, dengan dukungan biaya dari Dikti. Dari Jakarta, saya tiba di New Delhi dengan harapan dapat melanjutkan perjalanan ke Surat menggunakan penerbangan domestik. Namun, saya kesulitan membeli tiket domestik India dari Indonesia; bahkan biro perjalanan yang saya gunakan tidak dapat membantu, suatu hal yang terasa aneh.
Setibanya saya di New Delhi sekitar pukul 8 malam, saya langsung memesan taksi resmi di bandara untuk menuju hotel. Tiket hotel sudah saya siapkan melalui biro perjalanan di Semarang, dan seperti biasa, gambar saat pemesanan jauh lebih indah dari kenyataan yang ada.
Kejutan pertama di India muncul setelah taksi berjalan beberapa kilometer. Tiba-tiba, pengemudi taksi menunjukkan bahwa argometernya tidak berfungsi dan meminta saya membayar dua kali lipat tarif normal. Barulah saya menyadari bahwa selama perjalanan, pengemudi sengaja menutupi argometer dengan tubuhnya, menjelaskan cara mengemudinya yang aneh, badan doyong ke arah argometer. Karena tak ada pilihan lain, saya terpaksa membayar sesuai permintaannya.
Keesokan harinya, saya segera mencari tiket pesawat dari New Delhi ke Surat. Malang tak dapat ditolak, saya justru banyak menemui calo yang menawarkan tiket pesawat dengan harga lebih mahal, bahkan dibandingkan jika saya terbang dulu ke Mumbai lalu melanjutkan ke Surat dengan kereta api. Kejutan kedua bagi saya adalah banyaknya calo di loket penjualan tiket pesawat di India.
Lebih celaka lagi, saat tiba di Mumbai malam hari, saya keliru mendatangi stasiun kereta api untuk tujuan jarak pendek. Padahal, untuk membeli tiket kereta api Mumbai-Surat, seharusnya saya pergi ke stasiun kereta api antarkota. Karena kondisi keuangan yang pas-pasan—tentu ini bukan salah Dikti—dan malam sudah larut, akhirnya saya kembali ke Bandara Mumbai dan memilih tidur di sana.
Keesokan paginya, saya naik bajaj dari Bandara Mumbai menuju stasiun kereta api antarkota. Kejutan ketiga datang. Bajaj yang sedikit lebih besar dari bajaj Jakarta, mirip yang sering muncul di film-film India, dipaksa mengangkut tujuh penumpang. Tiga duduk di tempat penumpang, dua jongkok di depan lutut penumpang, dan dua lagi duduk di lantai di samping pengemudi. Sungguh luar biasa!
Kejutan masih berlanjut di kereta api ekonomi yang saya tumpangi. Tempat duduk di dalamnya bertingkat dua, persis seperti ranjang susun. Kaki penumpang di kursi atas menjuntai hingga ke kepala penumpang di kursi bawah. Pengalaman ini benar-benar mencengangkan.
Pengalaman saya dengan calo dan taksi bandara di New Delhi mengingatkan saya pada kondisi Jakarta di akhir tahun 1990-an menjelang tahun 2000. Bayangkan, Bandara New Delhi tahun 2014 sama dengan Bandara Jakarta akhir abad ke-19. Kondisi taksi gelap, calo, dan argometer taksi yang mati itu pernah saya jumpai di Bandara Soekarno-Hatta pada akhir 1990-an. Namun, pada tahun 2014, saya tidak lagi menemui keadaan serupa di Bandara Soekarno-Hatta; taksi gelap dan calo tiket sudah tidak terlihat. Pengalaman perjalanan internasional ini menyadarkan saya bahwa ternyata Indonesia di tahun 2014 lebih maju sekitar satu abad jika dihitung perabadannya, atau sekitar 15 tahun jika dihitung dalam tahun, dibandingkan dengan India.
Gelandangan
Awalnya, saya berpikir bahwa gelandangan atau kaum tunawisma hanya ada di Indonesia. Namun, ternyata gelandangan juga banyak ditemukan di Newcastle upon Tyne, Inggris, dan juga di Berkeley, Amerika Serikat. Saya akan menceritakan pengalaman di Berkeley saja. Memang ada tunawisma di kedua tempat tersebut yang memilih gaya hidup tersebut, bukan semata-mata karena alasan ekonomi.
Pada tahun 2007, dengan sponsor dari Luce Foundation, saya tinggal selama empat bulan di asrama mahasiswa dan staf University of California (UC) Berkeley, yang dikenal sebagai International House. Sehari-hari, saya berkantor di Departemen Environmental Science, Policy, and Management, UC Berkeley.
Sejak awal kedatangan di UC Berkeley, saya sudah diperingatkan oleh staf yang membantu saya bahwa di kampus tersebut banyak gelandangan, dan tingkat kriminalitasnya juga tinggi, terutama di malam hari. Dan benar saja. Setiap sore menjelang malam, makin banyak gelandangan atau tunawisma yang berkeliaran di kampus. Jarak antargedung di kampus cukup jauh, melewati taman atau ruang terbuka hijau yang menjadi sepi menjelang malam. Tak heran banyak terjadi tindakan kriminal, termasuk perkosaan, di sana.
Mengherankan. Negara semaju Amerika Serikat ternyata juga memiliki masalah gelandangan. Dalam hal ini, Amerika Serikat tidak kalah dibandingkan dengan Indonesia. Berkunjung ke Berkeley justru membuat saya bangga menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), karena gelandangan bukanlah fenomena yang hanya ada di Indonesia.
Kriminalitas
Sekitar sebulan sebelum keberangkatan saya mengikuti World Water Forum (WWF) IV di Mexico City tahun 2006, saya sudah diperingatkan mengenai tingkat kriminalitas yang tinggi dan mengerikan di kota tersebut.
Nasihat yang sering terdengar adalah: paspor asli sebaiknya tidak dibawa, simpan saja di brankas kecil hotel. Bawa uang tunai secukupnya saat bepergian. Dan yang paling mengerikan, katanya jika kita ditodong, serahkan saja harta benda kita; jangan melawan, karena penodong seringkali menggunakan senjata api yang siap meletus.
Apakah benar demikian? Atau ini hanya ketakutan para turis Barat? Maklum, yang membiayai perjalanan saya saat itu adalah Ford Foundation, dan saya berangkat bersama rombongan yang didanai oleh NGO dari Amsterdam, Belanda. Mungkinkah ini sama dengan teman saya orang Belanda yang baru pertama kali ke Indonesia? Banyak pertanyaannya kepada saya: aman tidakkah minum air putih di Indonesia, bagaimana dengan makanannya amankah, apakah banyak orang Indonesia yang bisa Bahasa Inggris, bagaimana tingkat kriminalitas di Indonesia, dan pertanyaan-pertanyaan senada lainnya.
Pengalaman saya pribadi di Mexico City justru aman-aman saja. Saya sempat naik kereta api dalam kota pulang dari lokasi WWF ke hotel, dan semuanya baik-baik saja. Entahlah, apakah ini disebabkan oleh pengalaman saya yang mumpuni naik kendaraan umum di Indonesia, atau karena tampilan saya yang menurut pengemudi taksi di Jakarta tidak akan menarik perhatian perampok.
Yang jelas, peringatan tentang tingkat kriminalitas yang tinggi di Mexico City benar-benar membuat saya gentar. Kalau soal senjata yang digunakan untuk menodong, jelas Indonesia “kalah” dibandingkan Meksiko, karena mereka konon menggunakan senjata api, sementara di Indonesia paling penodong menggunakan senjata tajam. Saya jadi makin bersyukur menjadi WNI dan tinggal di Indonesia. Paling tidak, citra kriminalitas Indonesia tidak semengerikan Mexico City di mata orang asing.
Belajar Disiplin dan Tertib
Pada tahun 2025 ini, anak dan istri saya pertama kali akan bepergian ke luar negeri. Saya memilih Singapura sebagai destinasi mereka karena modernitasnya, transportasi yang baik dan terintegrasi, keamanannya, serta jaraknya yang dekat dengan harapan biaya yang tidak terlalu mahal.
Saya sudah mewanti-wanti istri agar disiplin dan tertib. Selalu berdiri di kiri saat menggunakan eskalator di Singapura. Jangan meludah atau membuang ingus sembarangan—hal terakhir ini yang masih sering dijumpai di Indonesia. Utamakan yang akan keluar dari lift, MRT, atau bus. Aturan ini sebenarnya sudah biasa di Indonesia, terutama saat kita naik dan turun dari kereta kalayang di Bandara Soekarno-Hatta, meskipun kadang masih perlu diingatkan oleh petugas.
Manfaatnya terasa lumayan. Setelah pulang dari Singapura, istri saya menjadi tertib, selalu berdiri di kiri saat menggunakan eskalator. Untuk kebiasaan meludah dan sejenisnya, ia memang sudah terbiasa tidak melakukannya, jadi saya tidak melihat perubahan signifikan di sana. Namun, efeknya, ia kini sering mengeluh saat menggunakan lift di RS Kariadi ketika menemani saya kontrol bulanan. “Yang begini ini tidak ada di Singapura,” katanya, melihat pengunjung yang berebut masuk lift sebelum semua pengguna lift keluar. Singapura telah berhasil membuat istri saya lebih disiplin dan tertib dalam menggunakan eskalator dan lift, menunjukkan salah satu dampak positif perjalanan internasional.
Manfaat Lain
Bagi kami pribadi, ada banyak manfaat lain dari wisata ke luar negeri. Saya sengaja memilih manfaat-manfaat yang belum banyak didiskusikan di berbagai situs yang muncul saat kita mencari “manfaat wisata ke luar negeri” di Google, atau saat bertanya kepada ChatGPT dan sejenisnya.
Mudarat Berwisata ke Luar Negeri
Dari literatur terbatas yang saya baca, setidaknya ada dua mudarat utama dari wisata ke luar negeri. Pertama, terkait dengan emisi Gas Rumah Kaca yang dihasilkan dari pesawat yang kita tumpangi. Maklum, sebagai warga Semarang, saya hampir selalu menggunakan pesawat baik untuk rute domestik maupun internasional saat bepergian ke luar negeri. Kedua, terkait dengan efek pengganda pariwisata.
Meskipun keilmiahannya mungkin tidak terlalu dapat diandalkan, situs https://www.flightright.com/blog/train-vs-plane#the-most-important-facts-about-train-or-plane, khususnya pada halaman “The most important facts about Train or Plane?”, menunjukkan bahwa rata-rata perjalanan dengan kereta api menghasilkan emisi CO2 hingga 96,5% lebih sedikit dibandingkan dengan penerbangan. Menurut situs yang sama, mengutip Laporan Greenpeace, untuk rute Berlin-Praha, misalnya, bepergian dengan kereta api 30 kali lebih ramah lingkungan daripada pesawat terbang, menyoroti dampak lingkungan pariwisata.
Efek pengganda pariwisata adalah perputaran uang yang dibelanjakan wisatawan, yang kemudian menghasilkan pendapatan tambahan bagi berbagai sektor dan bisnis. Pariwisata menciptakan lapangan kerja di berbagai sektor, seperti perhotelan, restoran, transportasi, dan lain-lain. Pada akhirnya, pengeluaran wisatawan juga akan berdampak pada sektor pertanian (untuk makanan yang dikonsumsi wisatawan), industri kecil untuk suvenir, dan tentu saja, akan menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Belum lagi peningkatan sewa perkantoran bagi pemasok jasa wisata.
Jadi, jika kita berwisata ke luar negeri, maka seluruh perputaran uang kita akan dinikmati oleh negara yang kita kunjungi. Sebaliknya, jika kita berwisata di dalam negeri, maka seluruh perputaran uang akan dinikmati oleh banyak orang dan industri yang ada di Indonesia. Akan lebih baik lagi jika wisata domestik difokuskan pada tempat-tempat yang jauh dari pusat perekonomian, seperti di desa-desa wisata. Dengan demikian, bukan hanya perputaran uang dinikmati di dalam negeri, tetapi juga akan lebih memeratakan pembangunan ekonomi nasional.
Penutup
Manfaat yang saya jabarkan dalam artikel ini lebih terfokus pada dampak positif bagi diri saya dan keluarga. Namun, tentu saja ada potensi munculnya manfaat negatif, seperti perjalanan internasional yang justru menimbulkan kekecewaan terhadap negara kita sendiri.
Jika hasil dari wisata ke luar negeri justru adalah kekecewaan terhadap tanah air dan perputaran uangnya hanya dinikmati oleh negara lain, maka mungkin akan lebih merugikan bagi kita untuk terus bepergian atau berwisata ke luar negeri.
Ringkasan
Perjalanan ke luar negeri dapat memberikan manfaat pribadi, seperti menumbuhkan rasa syukur terhadap kemudahan hidup dan kemajuan di Indonesia setelah membandingkan dengan kondisi di negara lain. Pengalaman ini juga dapat mengajarkan kedisiplinan dan ketertiban, serta menyadarkan bahwa isu sosial seperti tunawisma dan kriminalitas bukanlah fenomena eksklusif Indonesia. Manfaat ini seringkali meningkatkan apresiasi dan kebanggaan terhadap tanah air.
Di sisi lain, wisata internasional juga memiliki potensi kerugian. Penerbangan jarak jauh menghasilkan emisi gas rumah kaca yang signifikan, jauh lebih tinggi dibandingkan transportasi darat. Selain itu, uang yang dibelanjakan wisatawan di luar negeri akan menguntungkan ekonomi negara tujuan, berbeda dengan wisata domestik yang dapat mendukung perputaran ekonomi dan pemerataan pembangunan di Indonesia.