Takengon: Tips Solo Traveling Seru di Negeri Atas Awan

Takengon: Tips Solo Traveling Seru di Negeri Atas Awan 1

Akhir-akhir ini, lini masa TikTok saya dihiasi dengan serangkaian video berdurasi singkat yang memamerkan keindahan sebuah tempat yang begitu memukau. Dari resort dengan latar perbukitan hijau, panorama danau dari puncak, hingga kafe-kafe kekinian yang menyajikan berbagai jenis kopi, setiap tayangan berhasil memikat. Judul-judulnya pun beragam dan menggugah rasa penasaran: “Swiss-nya Aceh”, “Highland Gayo”, “Pesona Danau Lut Tawar”, atau “Ngopi Langsung di Kebun Kopi” hanyalah sebagian kecil dari daya tariknya.

Deretan video yang berseliweran ini sukses membangkitkan jiwa petualang dalam diri saya untuk segera menyambangi sebuah kota yang terletak di ketinggian 1200 mdpl. Kota itu adalah Takengon, ibu kota Kabupaten Aceh Tengah, yang tersohor dengan pesona wisata alamnya yang beragam. Takengon, yang juga dikenal sebagai Tanah Gayo, tidak hanya menawarkan pemandangan menawan, tetapi juga merupakan salah satu daerah penghasil kopi arabika terbaik di Indonesia.

Setelah melakukan riset singkat untuk mengumpulkan informasi tentang Takengon, saya pun memantapkan hati untuk melakukan perjalanan solo pada akhir pekan lalu. Petualangan dimulai dari Medan menuju Takengon menggunakan bus Putra Pelangi, sebuah perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 12 jam. Tiketnya dapat dipesan secara daring dengan harga Rp 230.000, lengkap dengan fasilitas bantal, selimut, sandaran kaki, serta toilet di dalam bus. Selama perjalanan, tak banyak yang bisa dilakukan selain beristirahat, sesekali mengecek ponsel, atau berbasa-basi dengan penumpang lain. Meskipun di luar gelap, deretan kedai kopi dan masjid-masjid megah yang berdiri di sepanjang jalan memberikan nuansa khas Kota Aceh yang kuat. Berbeda dengan bus AKAP pada umumnya yang berhenti untuk istirahat dan makan, bus Putra Pelangi ini justru berhenti di salah satu masjid saat subuh, mempersilakan seluruh penumpang muslim untuk menunaikan ibadah. Sebuah pengalaman yang sangat mengesankan.

Sekitar pukul 7 pagi, bus akhirnya tiba di tujuan akhir, Terminal Terpadu Paya Ilang Takengon. Terminalnya relatif kecil dan tenang, tanpa hiruk-pikuk ojek atau becak motor yang berebut penumpang. Kebersihan toiletnya patut diacungi jempol, sangat ideal bagi seorang solo traveler seperti saya untuk menumpang mandi sembari menunggu motor sewaan yang sudah saya pesan. Selama dua hari menjelajahi Takengon, saya memang memilih menggunakan motor pribadi karena terbatasnya transportasi umum yang bisa menjangkau berbagai destinasi wisata. Harga sewanya bervariasi, mulai dari Rp 130.000 hingga Rp 300.000 per 24 jam, tergantung jenis motornya.

Perhentian pertama saya adalah Kalanami Resort, sebuah destinasi yang tengah viral di media sosial, terletak sekitar 15 menit ke arah barat. Penginapan ini menawarkan pemandangan alam yang begitu menakjubkan: dihiasi latar belakang perbukitan hijau, dikelilingi Sungai Peusangan, lengkap dengan kabin-kabin apung, dan taman bunga yang tertata rapi. Setibanya di Kalanami, segala penat perjalanan seolah lenyap seketika. Meskipun tidak menginap, pengunjung tetap diperbolehkan masuk ke area taman untuk berfoto, bersantai, menikmati panorama alam, atau menyeruput kopi di Kala Temu Cafe. Tak hanya itu, tersedia pula berbagai wahana seru; bagi pencinta tantangan, arung jeram di Kala Waeh menyusuri Sungai Peusangan bisa menjadi pilihan, sementara bagi tamu resort, kesempatan bermain kano bersama angsa-angsa cantik di telaga yang tenang menambah keseruan.

Masih di Takengon Timur, dengan bantuan Google Maps, saya melanjutkan perjalanan ke Galeri Kopi Indonesia. Tempat ngopi ini benar-benar menyatu dengan alam, berlokasi persis di antara rimbunnya kebun kopi, menjadi daya tarik utama bagi para pengunjung. Di sini, saya tidak hanya dapat menikmati kopi Gayo terbaik, tetapi juga melihat langsung buah kopi di pohon dan mengamati proses penggilingan biji kopi. Banyak pengunjung memenuhi meja dan kursi kayu yang tersebar di berbagai sudut, sementara sebagian lainnya duduk di bar menyaksikan para barista meracik kopi. Saya memilih duduk di bar, memesan cocktail Sesongot yang menjadi best seller karena rasanya yang khas: segar, asam, dan aroma apel yang kuat. Mengetahui saya datang sendiri, para barista yang ramah pun mengajak berbincang, mengenalkan berbagai jenis kopi, menunjukkan cara menyeduhnya, bahkan memberikan segelas kecil nitro coffee secara cuma-cuma. Pengalaman yang begitu menyenangkan, hingga saya lupa waktu dan perut mulai terasa lapar.

Atas rekomendasi dari barista Galeri Kopi Indonesia, saya mampir ke Gegarang Resto. Di sana, saya memesan Ikan Nila Masam Jing, sebuah kuliner khas Gayo yang wajib dicoba. Paduan bumbu rempahnya menghasilkan cita rasa yang unik: asam, pedas, dan segar, sangat cocok di lidah saya. Satu porsinya dihargai Rp 30.000. Selain ikan nila, ikan tawar lain seperti gurami, depik, lobster, dan telur juga dimasak dengan bumbu asam jing yang sama lezatnya. Jangan lewatkan pula untuk mencoba tumis daun jipan yang rasanya unik sekali.

Sore hari menjelang, udara Takengon semakin dingin. Saya pun memutuskan untuk segera menuju penginapan murah, Depik Inn Guesthouse, yang terletak di bagian utara Danau Lut Tawar. Siapa sangka, penginapan dengan harga Rp 200.000 per malam ini menawarkan rooftop dengan pemandangan Danau Lut Tawar yang memukau. Setelah puas menikmati senja yang indah, saya langsung beristirahat, menyimpan energi untuk petualangan esok hari.

Hari kedua di Takengon, pagi-pagi buta saya sudah mengendarai motor sewaan, menembus kabut dingin yang membuat jari jemari kaku, melintasi jalan berkelok menanjak menuju Pantan Terong. Menurut warga lokal, Pantan Terong adalah spot terbaik untuk menyambut sunrise dan menyaksikan awan-awan yang beriringan, sehingga tempat ini dijuluki “Negeri di Atas Awan”. Sayangnya, pagi itu saya tidak mendapatkan keduanya, baik matahari terbit maupun awan-awan yang mengapung di udara.

Tidak puas dengan lanskap dari Pantan Terong, saya kemudian bertandang ke Bur Telege. Dalam Bahasa Gayo, “Bur” berarti sumur, sementara “Telege” berarti telaga atau air, sehingga Bur Telege berarti sumur telaga. Setelah berjalan kaki sejauh 400 meter dari tempat parkir, saya tiba di puncaknya. Sejauh mata memandang, di sisi kiri terlihat padatnya rumah-rumah penduduk, sementara di sebelah kanan terhampar luas Danau Lut Tawar yang biru. Selain untuk menikmati pesona Tanah Gayo, di Bur Telege juga tersedia berbagai wahana permainan anak, panggung pertunjukan, kedai-kedai makanan, dan spot-spot foto yang instagramable, menjadikannya destinasi yang cocok untuk semua kalangan.

Pepatah mengatakan, enggan bertanya sesat di jalan, atau dalam kasus saya, “sesat di gua.” Itulah pengalaman yang saya alami ketika nekat menyusuri jalan setapak menuju Gua Loyang Koro, padahal dari depan sudah terlihat tanda pintu masuknya yang porak poranda. Setelah berjalan sekitar 200 meter, akhirnya saya tiba di Gua Loyang Koro. Gua ini sepi, tanpa penjaga, dan terasa pengap, dengan beberapa kelelawar terbang menyambut atau mungkin justru waspada. Dengan kondisi yang tidak terawat seperti ini, saya tidak merekomendasikan gua ini untuk dikunjungi. Ada sedikit rasa kesal, namun inilah bagian dari petualangan, selalu ada kejutan tak terduga.

Saya melanjutkan berkendara, menyusuri jalan raya yang mengitari Danau Lut Tawar. Tampak tambak-tambak udang di tengah danau dan jajaran floating resto yang turut mengiringi perjalanan ini. Tak lama, saya tiba di Gua Putri Pukes. Gua kecil ini jauh lebih terawat kondisinya, dan ada penjaganya yang siap menjadi pemandu. Untuk masuk ke gua ini, pengunjung hanya dikenakan tarif Rp 5.000 saja. Di dalam gua, terdapat satu tempat yang konon dulunya digunakan untuk bersemedi. Di bagian tengahnya terdapat sumur besar yang airnya hanya bisa penuh dua kali dalam setahun, dan airnya dipercaya memiliki khasiat pengobatan. Di sudut lain, ada batu besar yang menyerupai manusia, konon merupakan jelmaan Putri Pukes, seorang putri dari Kerajaan Tanah Gayo yang menjadi batu karena melanggar perkataan orang tuanya.

Setelah menjelajahi Gua Putri Pukes, tibalah saatnya untuk cafe hopping, menguji langsung cita rasa kopi arabika Gayo dari tempat asalnya. Perhentian pertama adalah Teluk Mendale Cafe. Konsepnya semi floating cafe, tepat di tepi Danau Lut Tawar. Kesan pertama saat memasuki kafe ini adalah keindahan dan ketenangan yang luar biasa. Suguhan lanskap bukit-bukit barisan, hijaunya danau, kapal-kapal nelayan yang sesekali melintas, dan angin sepoi yang menyejukkan, semakin menyempurnakan suasana kafe ini. Namun sayang, saya tidak dapat menikmati Kopi Rinang Mendale yang menjadi produk unggulan kafe ini karena sudah ludes terjual.

Tujuan terakhir saya adalah Tujuh Semeja, tempat ngopi paling populer di Takengon. Bangunan berbentuk persegi berwarna putih dengan logo Tujuh Semeja ini menjadi keunikannya tersendiri. Pada akhir pekan seperti ini, tentu saja kafe ini ramai dipenuhi pengunjung yang tersebar di bangku-bangku acak; ada kumpulan remaja, ada pula keluarga-keluarga kecil yang ingin menikmati senja. Saya sendiri memilih duduk bersama para barista, berkenalan, dan berbincang santai seputar kopi, Takengon, dan seluk beluk Tujuh Semeja itu sendiri. Rupanya, Tujuh Semeja ini dimiliki oleh tujuh sekawan yang merupakan putra daerah, sebuah hal yang membanggakan. Kini, Tujuh Semeja juga sudah hadir di Banda Aceh, dan semoga segera berekspansi ke daerah-daerah lain. Menyenangkan sekali menghabiskan sore di Tujuh Semeja, apalagi ketika saya diberi kopi Tujuh Semeja Apel secara cuma-cuma.

Setelah puas menjelajah, saatnya kembali ke Terminal Paya Ilang Takengon, di mana Bus Putra Pelangi sudah menunggu untuk membawa saya pulang ke Medan. Bagi Anda yang mungkin memiliki rencana berlibur ke Takengon, ada beberapa hal menarik yang saya temukan dan patut menjadi perhatian:

Pertama, mayoritas masyarakat Takengon adalah muslim dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Tidak heran jika di mana-mana bertebaran masjid dengan desain arsitektur yang indah. Bahkan, setiap kafe yang saya kunjungi pasti menyediakan mushola untuk para pengunjungnya. Hampir semua perempuan di sana menggunakan jilbab. Masyarakat mungkin menganggap aneh jika ada perempuan yang tidak berhijab, oleh karenanya, disarankan untuk menggunakan pakaian yang lebih tertutup dan sopan saat berkunjung ke sana.

Kedua, salah satu hal paling menyenangkan di Takengon adalah bebas parkir. Jadi, bagi Anda yang sering singgah ke banyak tempat, tidak perlu khawatir. Biaya parkir hanya berlaku di tempat-tempat wisata tertentu saja.

Ketiga, siapkan uang tunai jika Anda tidak ingin repot membayar dengan transfer melalui Bank Daerah. Di Takengon, sistem pembayaran menggunakan QRIS atau e-money lainnya belum begitu lazim.

Terakhir, jangan kaget jika tidak menemukan Wi-Fi atau stop kontak di kafe-kafe atau restoran. Kabarnya, kebijakan ini diterapkan agar pengunjung benar-benar menikmati kopi dan tidak berlama-lama karena adanya fasilitas Wi-Fi.

Ringkasan

Takengon, ibu kota Kabupaten Aceh Tengah yang terletak di ketinggian 1200 mdpl, terkenal sebagai Negeri Atas Awan dengan beragam pesona wisata alamnya. Kota ini merupakan salah satu daerah penghasil kopi arabika terbaik di Indonesia, menawarkan pemandangan indah Danau Lut Tawar dan perbukitan hijau. Untuk menjelajahinya, menyewa motor adalah pilihan populer yang memungkinkan akses ke berbagai destinasi seperti Kalanami Resort dan Galeri Kopi Indonesia, serta mencicipi kuliner khas Gayo seperti Ikan Nila Masam Jing.

Wisatawan juga dapat mengunjungi titik pandang seperti Pantan Terong dan Bur Telege untuk melihat Danau Lut Tawar, atau menjelajahi Gua Putri Pukes yang terawat. Kafe-kafe populer seperti Teluk Mendale Cafe dan Tujuh Semeja menjadi tempat ideal untuk menikmati kopi Gayo. Karakteristik khas Takengon meliputi nilai-nilai Islam yang kuat dalam masyarakat, parkir yang umumnya gratis, dominansi pembayaran tunai, dan ketersediaan Wi-Fi yang terbatas di tempat umum.