Menjaga Waras Saat Pesawat Delay

Menjaga Waras Saat Pesawat Delay 1

Harapan saya tinggi seperti langit yang akan saya tuju. Sebuah penerbangan dengan maskapai yang katanya terbaik di dunia. Tapi hidup, seperti halnya pesawat, sering tertunda. Bukan karena takdir tak ingin kita tiba, hanya saja kadang awan terlalu pekat dan landasan belum siap. Saya pun duduk di bangku yang bukan milik saya sepenuhnya, berbagi ruang dengan kecemasan dan rasa jenuh. Ini bukan film drama, bukan pula kisah konspirasi. Ini hanya realita kecil dari dunia besar bernama perjalanan udara.

Semuanya bermula dari kabar yang datang tanpa aba-aba. Delay. Kata sederhana yang menyimpan letupan emosi tersembunyi. Jadwal berubah, rencana berantakan, dan suasana hati ikut menguap seperti kabut di atas aspal panas bandara. Bahkan setelah terbang, saat seharusnya bersiap mendarat, kenyataan malah menahan kami di udara. Berputar-putar, seperti pikiran yang tak kunjung tenang. Alasannya? Perlintasan pesawat militer. Negara lebih penting, tentu. Tapi penumpang juga manusia.

Namun, dari pengalaman ini saya belajar bahwa tidak semua hal bisa dikendalikan. Terkadang yang bisa kita lakukan hanyalah menjaga diri agar tetap utuh. Bukan hanya secara fisik, tapi juga mental. Sebab delay bukan hanya urusan waktu, tapi juga urusan emosi. Dan untuk itu, ada beberapa hal yang saya pelajari. Bukan tips ajaib, bukan pula rumus matematika. Tapi cukup ampuh untuk menjaga waras saat semuanya terasa tidak pasti.

Pertama, belajar menerima

Tidak ada gunanya mengutuk cuaca, teknisi, atau takdir. Delay itu bukan sabotase pribadi. Ini realitas perjalanan udara. Melawan hanya menambah tensi. Saya berusaha mengalihkan perasaan dengan kalimat sederhana, “Ya udah. Mungkin ada alasan lebih besar.” Kadang, kita cuma perlu berhenti menolak. Bernapas pelan. Duduk lebih nyaman. Lihat sekeliling. Siapa tahu ada sesuatu yang lucu.

Saya mulai menarik napas. Dalam. Lalu menghembuskan perlahan. Berkali-kali. Kalimat-kalimat seperti “semuanya akan baik-baik saja” atau “sabar sedikit lagi” menjadi mantra yang saya ulang dalam hati. Bukan untuk mengusir realita, tapi untuk berdamai dengannya. Kadang satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan tidak melawan. Tapi melonggarkan genggaman.

Kedua, cari tahu seperlunya

Saya berdiri, mencari petugas maskapai. Menanyakan apa yang terjadi. Jawabannya normatif, tentu saja. Masalah operasional. Saya tidak puas, tapi saya tidak marah. Setidaknya saya tahu. Tapi setelah itu saya duduk lagi. Tidak mengecek aplikasi setiap lima menit. Tidak bertanya ke petugas setiap sepuluh menit. Karena ada batas antara peduli dan panik. Dan saya memilih yang pertama. Saya atur alarm di ponsel, dua jam ke depan. Jika tidak ada kabar, saya baru akan bertanya lagi. Selebihnya, saya serahkan pada waktu.

Ketiga, tubuh butuh bergerak

Duduk lama membuat otot saya kaku. Kepala mulai pening. Saya pun berjalan. Tidak jauh. Hanya menyusuri koridor terminal. Memandangi toko-toko yang berjajar terang seperti tak mengenal kata tutup. Inilah bandara tempat dimana waktu tidak pernah tidur dan lampu tak pernah padam. Toko-toko selalu buka, selalu menggoda. Tapi yang perlu dijaga bukan jadwal buka mereka, melainkan kemampuan dompet kita bertahan dalam godaan. Kadang hanya melihat-lihat, tapi mata bisa gatal dan kartu bisa tergelincir.

Saya memilih tidak berhenti. Berjalan terus. Melihat orang-orang yang juga menunggu. Ada yang tidur di kursi, ada yang makan, ada yang memejamkan mata sambil bersandar pada koper. Gerakan kecil ini ternyata cukup untuk membuat pikiran saya sedikit lebih ringan. Seperti membuka jendela di ruangan yang pengap. Saya juga melakukan peregangan. Putar bahu. Angkat tumit. Tekuk leher. Gerakan sederhana, tapi menyegarkan.

Keempat, makan dan minum dengan bijak

Saya membeli air mineral. Tidak kopi. Tidak soda. Saya tahu, kafein hanya akan membuat saya makin gelisah. Saya juga tidak tergoda dengan makanan cepat saji yang berjejer di sisi kiri terminal. Saya keluarkan kacang-kacangan dari tas kecil saya. Saya kunyah perlahan. Tidak terlalu kenyang, tapi cukup. Saya tidak ingin merasa lesu atau malah mual di tengah ketidakpastian ini. Ternyata, menyayangi tubuh di tengah kekacauan adalah bentuk kecil dari perlawanan.

Kelima, siapkan yang bisa disiapkan

Di dalam tas saya ada buku. Ada earphone. Ada power bank. Saya tidak membawanya karena tahu akan ada delay. Tapi hari itu saya bersyukur saya membawanya. Buku menjadi pelarian. Musik menjadi pelipur. Dan baterai menjadi penyambung nyawa gawai. Saya juga membawa selimut kecil. Saat udara mulai dingin, saya tidak menggigil. Saya merasa siap. Mungkin tidak sepenuhnya. Tapi cukup untuk tidak merasa hancur.

Keenam, tenangkan pikiran dengan hal menyenangkan

Saya menulis di jurnal. Tentang kekesalan. Tentang harapan. Tentang orang-orang yang saya lihat. Saya juga mencoba meditasi sederhana. Tarik napas, tahan, hembuskan. Ulangi. Saya menutup mata. Mendengarkan suara sekitar. Lalu memfokuskan diri pada detak jantung saya. Tidak lama. Lima menit. Tapi cukup untuk membuat saya merasa masih hidup, masih bernapas, dan itu saja sudah cukup.

Ketujuh, tahu hak dan bersikap wajar

Saya tahu ada regulasi soal keterlambatan. Saya tahu, jika keterlambatan mencapai durasi tertentu, ada kompensasi. Saya tanyakan, dan staf maskapai memberitahu dengan ramah. Saya catat. Saya tidak menuntut lebih. Tapi saya tidak diam juga. Hak tetap harus diketahui, agar tidak diinjak. Tapi saat menyampaikannya, saya berusaha tetap tenang. Karena marah tidak membuat pesawat lebih cepat datang. Tapi bisa membuat hati makin rusak.

Delay bukan cerita baru. Tapi setiap delay adalah cerita baru. Ada yang kehilangan janji penting. Ada yang batal bertemu keluarga. Ada yang sekadar ingin sampai. Saya termasuk yang terakhir. Tapi di dalam keterlambatan itu, saya menemukan jeda. Untuk melihat diri sendiri. Untuk belajar menerima. Untuk merasa cukup. Bahkan untuk bersyukur.

Saya tidak mengatakan bahwa delay itu menyenangkan. Tidak juga menyarankan untuk menikmatinya. Tapi jika itu harus terjadi, maka setidaknya kita bisa memilih bagaimana cara menghadapinya. Duduk, marah, dan memaki. Atau duduk, bernapas, dan tetap hidup.

Kadang dunia terlalu cepat. Kita diburu waktu. Kita dihimpit tenggat. Tapi delay memaksa kita berhenti. Memaksa kita menunggu. Dan dalam menunggu itu, ada ruang. Untuk berpikir. Untuk meresapi. Untuk merawat diri. Mungkin itu bukan waktu yang kita minta. Tapi bisa jadi itu waktu yang kita butuhkan.

Saya tidak akan melupakan perjalanan ini. Bukan karena delay-nya. Tapi karena saya belajar. Bahwa menjaga waras bukan soal tidak terganggu. Tapi soal tetap bisa memilih respons, bahkan saat segala hal tampak salah.

Kalau Anda sedang menunggu, entah di bandara atau di simpang hidup yang tak kunjung memberi jalan, apa yang akan Anda lakukan? Duduk pasrah, atau mulai menyapa diri sendiri yang diam-diam sudah kelelahan?